Jadi Tersangka Korupsi, Calon Kepala Daerah Tak Bisa Mundur

Bimo Wiwoho | CNN Indonesia
Kamis, 15 Feb 2018 15:15 WIB
Dalam Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2017 diatur bahwa kepala daerah yang sudah ditetapkan tidak bisa mengundurkan diri. Dukungan parpol juga tidak bisa dicabut.
Komisioner KPU. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi menyatakan bahwa calon kepala daerah yang tersangkut dan jadi tersangka kasus dugaan korupsi tidak bisa mengundurkan diri sebagai peserta Pilkada. Baik yang diusung oleh partai politik mau pun calon kepala daerah yang maju lewat jalur perseorangan.

"Iya tidak bisa mengundurkan diri," ucapnya melalui pesan singkat, Kamis (15/2).

Pramono mengatakan hal itu telah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada Pasal 75 ayat (2) disebutkan, pasangan calon atau salah seorang dari pasangan calon dilarang mengundurkan diri sejak ditetapkan oleh KPU. Partai politik pengusung pun tidak dapat membatalkan dukungan. Diketahui, KPU sendiri telah melakukan penetapan pasangan calon pada 12 Februari kemarin.

Kemudian pada Pasal 77 ayat (1), pasangan calon yang maju lewat jalur perseorangan dilarang mengundurkan diri sejak ditetapkan oleh KPU. Sebetulnya, calon yang maju lewat jalur perseorangan dapat mengundurkan diri, namun akan dikenakan sanksi.

Hal itu termaktub dalam Pasal 77 ayat (3). Sanksi yang harus ditanggung yaitu denda sebesar Rp20 miliar untuk calon gubernur dan Rp10 miliar untk calon bupati dan walikota. Pengaturan sanksi tertulis dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.

"Jadi sudah jelas," ucap Pramono.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan sejumlah calon kepala daerah sebagai tersangka.

Misalnya, calon petahana Bupati Jombang, Nyono Suharli yang ditetapkan sebagai tersangka pada 3 Februari lalu. Nyono diduga menerima suap dari hasil pungutan liar (pungli) terhadap dana kapitasi Rp434 juta di 34 puskesmas, yang dikumpulkan sejak Juni 2016. Sebagian uang suap yang diterima, diduga digunakan Nyono untuk kepentingan kampanye Pilkada Jombang 2018.

Tak sampai satu pekan, calon gubernur Nusa Tenggara Timur, Marianus Sae ditetapkan sebagai tersangka pada 11 Februari lalu. Bupati Ngada itu diduga menerima suap sebesar Rp4,1 miliar dari Direktur PT Sinar 99 Permai Wilhemus Iwan Ulumbu untuk kepentingan kampanye Pilgub NTT 2018. Sebagai imbalannya, Marianus menjanjikan proyek-proyek di Kabupaten Ngada, NTT, senilai Rp54 miliar akan diberikan ke Wilhemus.

Berselang dua hari kemudian, giliran calon petahana Bupati Subang, Jawa Barat, Imas Aryumingsih yang disematkan status tersangka oleh KPK. Imas disinyalir menerima suap terkait perizinan pendirian pabrik di lingkungan Pemerintah Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dia diduga menggunakan sebagian uang suap yang diterima dari pengusaha bernama Miftahhudin untuk kepentingan kampanye Pilkada Subang 2018.

Mereka yang mendapat rompi oranye itu telah terdaftar dan dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU sebagai peserta Pilkada. Bahkan, mereka juga telah mendapat nomor urut sebagai peserta Pilkada.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan merasa prihatin dengan banyaknya kepala daerah yang tersangkut pidana korupsi. Terlebih, dari tiga kali OTT yang dilakukan pada awal tahun ini, pihaknya menemukan uang suap yang disinyalir digunakan untuk kepentingan kampanye kepala daerah bersangkutan.

"Sekali lagi KPK sangat menyesalkan peristiwa dugaan suap terhadap kepala daerah yang masih terus berulang," kata Basaria. (osc/sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER