'Indeks Persepsi Korupsi Mandek, Politikus Tak Banyak Upaya'

Mesha Mediani | CNN Indonesia
Jumat, 23 Feb 2018 05:10 WIB
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2017 adalah 37 poin atau sama dengan 2016. Pemerintah, politikus, dan pebisnis diminta memperbaiki diri.
Terdakwa kasus korupsi e-KTP, yang merupakan politikus Partai Golkar Setya Novanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/2). TII menyebut politikus dan pemerintah tak banyak berupaya dalam meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK). (Foto: CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Survei Transparancy International Indonesia (TII) mengungkapkan Indonesia meraih skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) 2017 adalah 37 poin atau tak berbeda dengan tahun sebelumnya. Kerjasama korupsi antara Pemerintah, politikus, dan swasta jadi sorotan.

"Hal ini menunjukkan stagnansi upaya berbagai pihak, khususnya pemerintah, kalangan politisi, dan pebisnis dalam usaha pencegahan dan pemberantasan korupsi di lndonesia," kata peneliti TII Wawan Suyatmiko pada sebuah diskusi bertajuk "Menera Korupsi di Tahun Politik" di Jakarta, Kamis (22/2).

Dalam survei ini, skor 0 berarti negara tersebut dipersepsikan sangat korup, sementara skor l00 berarti dipersepsikan bersih dari korupsi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada ICP 2017, Indonesia berada diperingkat 96 dari 180 negara yang disurvei. Skor 37 juga diperoleh negara lain, yakni Brazil dan Thailand.

Wawan melanjutkan, peningkatan IPK bisa terbantu dengan perbaikan sektor publik dan sektor swasta. Misalnya, dengan paket kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB) dari pemerintah.

Sedangkan, penurunan IPK paling banyak disumbang oleh praktik korupsi di sektor eksekutif, legislatif, dan peradilan.

Jajaran pimpinan Pansus Hak Angket terhadap KPK di DPR (kiri), di Jakarta, 2017. Pansus menginginkan KPK meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi. Jajaran pimpinan Pansus Hak Angket terhadap KPK di DPR (kiri), di Jakarta, 2017. Pansus menginginkan KPK meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi. (Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

"Publik menunggu keseriusan pemerintah dalam upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi," ujar Wawan.

Sementara itu, Ketua Dewan Eksekutif TII Felia Salim menilai peningkatan kemudahan berbisnis tidak akan otomatis meningkatkan skor IPK selama tidak dibarengi dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk memutus hubungan koruptif antara pejabat negara dan pelayan publik dengan pebisnis.

Pihaknya menyarankan agar partai politik dan DPR bisa mendukung agenda pemberantasan korupsi dan semakin transparan.

"Dalam menghadapi tahun politik, DPR dan parpol wajib membangun dan menjalankan agenda antikorupsi. Sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengefektifkan standarisasi transparansi dan akuntabilitas dana parpol, baik yang bersumber dari perorangan atau perusahaan," papar dia.

Selain itu, kata Felia, Presiden dan pemerintah diminta untuk segera mempercepat penandatanganan rancangan Peraturan Presiden antikorupsi dan mengkonsolidasikan semua pihak agar lebih serius dalam melawan korupsi.

"Presiden juga diminta untuk lebih memperhatikan pembenahan tatakelola lembaga-lembaga penegak hukum dan memastikan mereka bersinergi dalam mendukung Aksi PPK," imbuhnya.

Terlebih, pemerintah belum berhasil mencapai target sasaran jangka menengah yang tercantum dalam Perpres 55 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, yakni peningkatan IPK sebesar 65 pada tahun 2019.

"Sayangnya, upaya revisi target dan upaya penguatan program Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) tidak terlihat melalui lambannya revisi Perpres 55 tahun 2012," kata Felia.

(arh)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER