Jakarta, CNN Indonesia -- Pendaftaran calon presiden dan wakil presiden 2019 akan dibuka Agustus 2018. Tersisa waktu sekitar enam bulan bagi partai politik untuk menentukan koalisi dan mengajukan nama calon RI 1 dan RI 2.
Berdasarkan hasil sejumlah lembaga survei, hingga kini hanya ada dua nama calon presiden yang memiliki elektabilitas tinggi untuk dicalonkan sebagai Capres, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Dalam berbagai survei, dua nama tersebut selalu menduduki urutan teratas.
Jokowi yang kini menjabat Presiden telah bergerak untuk membahas pencalonannya kembali di 2019. Teranyar, PDI Perjuangan secara resmi mendeklarasikan dukungannya untuk
Jokowi di Pilpres 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu juga Prabowo Subianto. Namun, Prabowo masih 'malu-malu' untuk menyatakan maju. Seperti dalam pidatonya saat HUT ke-10 Gerindra di Kantor DPP Gerindra, Sabtu (10/2), Prabowo tidak merespons secara jelas keinginan pendukungnya yang mempertanyakannya untuk maju dengan berusaha meredam euforia dukungan.
"Ada yang mengatakan Pak Prabowo bagaimana ini, maju enggak, capres atau tidak? Saya katakan masih lama. Pendaftaran Agustus (2018), kok sekarang ribut-ribut," kata Prabowo kala itu.
 Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Sedangkan Jokowi terang-terangan, mengakui tengah membahas pencalonannya kembali. Dia bahkan telah melakukan pemetaan koalisi partai politik jelang Pilpres 2019. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu disebut telah bertanya kepada para ketua umum partai tentang sosok yang tepat untuk mendampinginya sebagai calon wakil presiden.
Sejumlah partai politik pendukung Jokowi langsung merespons pertanyaan Jokowi dengan tindakan nyata dengan menyorongkan nama cawapres. Hanura menyorongkan nama Wiranto sebagai Cawapres, PKB mulai menggadang-gadang nama Muhaimin Iskandar, dan PPP memasang baliho Romahurmuziy sebagai Cawapres. Tak ketinggalan PDIP, yang disebut-sebut sejumlah media mulai menyorongkan nama Budi Gunawan --yang kemudian dibantah oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Pengamat politik LIPI Syamsuddin Haris berpendapat pemanggilan ketua umum partai politik oleh Jokowi dan direspons dengan munculnya nama-nama cawapres bisa dimaknai sebagai pesan dari Jokowi untuk PDIP yang disebut menyodorkan nama Budi Gunawan.
"Ada kesan Jokowi tidak ingin didikte oleh PDIP," kata Syamsuddin kepada
CNN Indonesia.com, Jumat (23/2).
Jokowi, menurut Syamsuddin, tentunya juga ingin melihat dan melakukan pemetaan terhadap calon-calon potensial yang akan menjadi pendampingnya.
Senada, Direktur Eksekutif Median Rico Marbun mengatakan, saat ini Jokowi merupakan '
King Maker' yang akan memainkan peran di Pilpres 2019. Bukan PDIP, partai pengusungnya di Pilpres 2014 silam.
"Semakin banyak yang mencalonkan cawapres, maka akan semakin untung Jokowi. Seolah dia ingin berpesan 'Saya adalah capres nomor satu. Bila tidak dicalonkan PDIP saya juga memiliki partai pendukung'," kata dia.
Kata Rico, Jokowi ingin beradu kuat dengan PDIP yang mencoba mendiktenya dengan menyodorkan nama calon wakil.
"Ibaratnya sedang tarik tambang Jokowi dengan PDIP," katanya kepada
CNN Indonesia.com PDIP disebut-sebut menghendaki Kepala Budi Gunawan menjadi cawapres pendamping Jokowi. Hal itu dibantah Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
'Perang dingin' Jokowi dan PDIP juga terlihat dari calon-calon Kepala Daerah yang diusung di beberapa daerah.
"PDIP dan Jokowi berseberangan, tertutama di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di Jawa Barat PDIP mencalonkan sendiri TB Hasanudin-Anton Charliyan sedangkan Jokowi tampaknya lebih nyaman dengan Ridwan Kamil. Begitu juga dengan Jawa Timur, PDIP mendukung Gus Ipul, Jokowi cenderung ke Khofifah," kata Rico.
Tak hanya itu, Rico juga melihat selama ini hanya partai-partai politik pendukung yang memunculkan calon presiden, dan gabungan partai-partai tersebut dapat mencalonkan Jokowi tanpa PDIP.
"Jokowi ini cerdik, cerdas, dia sedang memetakan cawapres,
beauty contest, terutama lewat survei," katanya.
Sejak Januari 2018, sejumlah lembaga merilis survei tentang popularitas kandidat presiden. Dalam survei tersebut juga tercantum nama-nama calon wakil presiden yang akan mendampingi Jokowi atau Prabowo.
Januari 2018, Saiful Mujani Research and Consulting merilis popularitas Jokowi 38,9 persen dan Prabowo 10,5 persen dengan tiga kandidat wakil presiden teratas di antaranya, Jusuf Kalla, Agus Harimurti Yudhoyono dan Gatot Nurmantyo. Pada 15 Februari, giliran Indo Barometer yang merilis popularitas Jokowi 32,7 persen dan Prabowo 19,10 persen dengan kandidat cawapres teratas Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo dan Agus Harimurti Yudhoyono.
Tiga hari setelahnya, 18 Februari 2018 Poltracking mengeluarkan hasil survei popularitas Capres Joko Widodo 45,4 persen dan Prabowo Subianto 19,8 persen dengan kandidat Cawapres teratas Agus Harimurti Yudhoyono, Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo.
 Nama Agus Harimurti Yudhoyono mulai mencuat sebagai kandidat kuat cawapres di sejumlah lembaga survei. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Lampu KuningRico mengakui jika saat ini Jokowi berada di atas angin dengan sejumlah survei. Namun, dia mengingatkan Jokowi agar tidak terlena. Sebab, hasil survei menunjukkan popularitas dan elektabilitas Jokowi masih berada di bawah 50 persen. Peluang untuk Jokowi kalah di Pilpres masih terbuka.
"Ini lampu kuning, berdasarkan survei median ada tren penurunan elektabilitas Jokowi sejak April 2017 hingga sekarang dari 36,9 persen dan hingga kini hanya di kisaran 35 persen. Angka amannya jelas 50 persen," katanya.
Nantinya figur Cawapres yang akan dipilih Jokowi akan sangat menentukan kemenangan, karena bisa saja jika Jokowi 'salah' memilih cawapres justru menjadi beban Jokowi.
Jokowi, kata Rico, harus memperhitungkan betul calon yang akan dipilihnya, termasuk memikirkan kembali calon yang disorongkan PDIP.
Rico melihat Jokowi bukanlah pengurus PDIP tapi telah identik dengan partai tersebut. Sehingga, jika nantinya Jokowi berpasangan dengan calon dari PDIP maka akan sulit, karena persepsi publik saat ini terbelah, terutama pasca Pilgub Jakarta 2017, antara arus kelompok identitas seperti kelompok 212 dengan kutub pro Ahok.
"Bila PDIP dengan PDIP maka persepsi publik akan semakin jelas, ke mana arah Jokowi," katanya.
 Ketum PDIP Megawati Soekarno Putri dan Presiden Joko Widodo mematangkan komunikasi politik jelang deklarasi dukungan Pilpres 2019 di Istana Batu Tulis, Bogor, Rabu (21/2). (Dok. Istimewa) |
PDIP, kata Rico, juga akan berupaya kuat menyodorkan calonnya sebagai pendamping Jokowi. Mengingat, PDIP sedang melakukan regenerasi, dan membutuhkan sosok pemimpin dari kalangan internal yang benar-benar kader.
"Makanya Jokowi perlu mengakomodir kepentingan PDIP, dan PDIP perlu juga mengakomodir kepentingan Jokowi," katanya.
Selain itu, kata Rico, bila Jokowi mengambil sosok lain juga harus memperhatikan dua hal yang disoroti publik selama ini, yakni tema kompetensi dan identitas.
Dari sisi kompetensi seperti keberhasilan ekonomi, pemerintah Jokowi dilihat berhasil karena pembangunan infratruktur, tapi hal itu tidak menyentuh masyarakat bawah secara nyata.
"Harga-harga barang semakin naik, ternyata ada yang beranggapan problem ekonomi masih diragukan," katanya.
Dari sisi identitas, Jokowi juga belum dapat dinilai baik. Misalkan, saat Jokowi enam jam di Afganistan, justru masyarakat melihatnya sebagai pencitraan dan bukan sebagai tugas.
Tapi lagi-lagi, kata Rico, bila Jokowi mengambil sosok Cawapres dari kalangan agamis atau profesional, belum tentu juga dapat mendongkrak kemenangan.
"Sama saja, penurunannya elektabilitas sudah terasa, bila dibiarkan akan justru terus melemah," katanya.
Menurut Rico, Jokowi membutuhkan wakil dari sosok militer dan peduli tentang keumatan, seperti Prabowo Subianto.
"Duet Jokowi-Prabowo akan menyelesaikan semuanya," katanya.
Tapi, kata Rico, pertanyaannya, apakah para ketua umum partai politik akan merestui duet Jokowi-Prabowo?
 Sejumlah lembaga survei mengungkap skenario duet Jokowi-Prabowo di Pilpres 2019 masih terbuka. (CNN Indonesia/Christie Stefanie) |
(gil)