Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) bisa membubarkan partai politik yang terbukti terlibat menerima uang korupsi.
Pernyataan itu terkait kasus korupsi e-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR Setya Novanto. Dalam sidang hari ini Setnov menyebut sejumlah politikus yang menerima jatah uang e-KTP.
"Apakah MK bisa membubarkan parpol yang diduga terlibat suap kasus e-KTP. Jawab saya, masalah ini cukup panjang dan berliku," buka Yusril dalam keterangan yang diterima, Kamis (22/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya adalah orang yang dulu mewakili Presiden dalam mengajukan dan membahas RUU Perubahan UU Tipikor 31/99 dan membahas RUU MK dengan DPR sampai selesai, menyadari rumitnya penegakan hukum terkait masalah ini. UU Tipikor memberi kewenangan kepada aparat penegak hukum temasuk KPK untuk menyidik kejahatan korporasi. Termasuk kategori korporasi adalah parpol, yang jika terlibat dalam kejahatan, maka pimpinannya dapat dituntut, diadili dan dihukum," sambung Yusril.
 Yusril Ihza Mahendra. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Terkait itu, kata Yusril, berdasarkan Pasal 68 UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konsitusi maka lembaga itu berwenang untuk memutus perkara pembubaran parpol.
"Parpol bisa dibubarkan jika asas dan ideologi serta kegiatan-kegiatan parpol itu bertentangan dengan UUD 1945," katanya.
MK, katanya, dapat menyidangkan perkara pembubaran parpol ketika ada permohonan yang diajukan pemerintah karena memiliki kedudukan hukum atas itu. Untuk itu, kata Yusril, KPK pun harus melakukan penyidikan atas parpol-parpol yang diduga menikmati aliran uang suap e-KTP sehingga dibuktikan di pengadilan.
"Kalau dilihat dari perspektif hukum pidana, terkait kejahatan korporasi, maka jika korporasi tersebut terbukti melakukan kejahatan, maka yang dijatuhi pidana adalah pimpinannya. Korporasinya sendiri tidak otomatis bubar," ujar Yusril. "Begitu juga halnya jika parpol terbukti korupsi, maka pimpinannya yang dijatuhi hukuman. Sementara partainya sendiri tidak otomatis bubar."
Setelah itu, sambungnya, akan ada upaya meyakinkan pemerintah mengajukan itu ke MK ketika ada putusan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan suatu partai secara sah melakukan korupsi (kejahatan korporasi) dan pimpinannya dijatuhi hukuman.
TAaliran uang e-KTP ke parpol mengemuka dalam persidangan kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta dengan terdakwa Mantan Ketum Golkar, Setya Novanto.
Dalam sidang pada 25 Januari 2018, berdasarkan kesaksian Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman menyatakan soal hal itu membenarkan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas dirinya.
Pada BAP itu tercantum Irman mengaku menerima secarik kertas dari Mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto yang berisi rincian penerima uang proyek e-KTP.
"Dalam pertemuan tersebut Sugiharto memperlihatkan kepada saya berupa secarik kertas, berisi catatan sebagai berikut, untuk Golkar kode kuning sebesar Rp150 miliar, untuk Demokrat dengan kode biru sebesar Rp150 miliar, untuk PDIP kode merah sebesar Rp80 miliar, Marzuki Ali dengan kode MA sebesar Rp20 miliar, untuk Anas Urbaningrum dengan kode AU Rp20 miliar, Chairuman Harahap dengan kode CH sebesar Rp20 miliar," kata salah satu hakim yang membacakan keterangan Irman dalam BAP yang lalu dibenarkan sang saksi kala itu.
Selanjutnya kode suap itu diganti dengan menggunakan merek minuman keras. Hal itu terungkap dalam sidang Setnov pada 12 Maret 2018. Saat itu anak buah tersangka korupsi proyek e-KTP Irvanto Hendra Pambudi, Ahmad Nur yang hadir sebagai saksi mengatakan kode warna itu diganti merek minuman keras.
"Beliau (Irvanto) bilang ada kode merah, kuning, biru, diganti nama minuman," tutur Ahmad.
Menurutnya, kode merah digantikan dengan McGuires, kemudian biru digantikan dengan Vodka, dan kuning digantikan dengan Chivas Regal.
"Saya ingat namanya itu," ucapnya.
Selain itu, pada sidang hari ini, Setya Novanto mengaku ada aliran uang e-KTP ke rapimnas Golkar melalui Irvanto yang juga keponakannya itu sebesar Rp 5 miliar. Namun Novanto mengaku sudah mengembalikannya ke KPK.
"Saya baru ingat waktu itu dia [Irvanto] ada kontribusi di dalam Rapimnas Partai Golkar pada bulan Juni 2012," kata Setnov di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/3).
"Saya meyakinkan bahwa ini pasti dari uang e-KTP," cetus Setnov, yang pernah menjabat Ketua DPR ini.
(kid/wis)