Jakarta, CNN Indonesia -- Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa jadi menjadi salah satu amunisi 'rahasia' Presiden Joko Widodo dalam menyelamatkan Sungai Citarum.
Paling tidak hal itu diakui oleh Deputi Bidang Koordinasi SDM, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Safri Burhanuddin.
Menurutnya, KPK mencium dugaan 'permainan kotor' di sungai sepanjang 269 kilometer itu dalam beberapa tahun terakhir. "Soal pengeluaran izin selama ini dan pengawasannya," ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Maret lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
KPK memang aktif memantau potensi korupsi dari persoalan sumber daya alam sejak 2014. Khusus di Jawa Barat, lembaga antikorupsi itu turut menyoroti persoalan tata kelola Citarum. Mulai dari persoalan izin hingga pendapatan negara yang hilang.
 KPK memang aktif memantau potensi korupsi dari persoalan sumber daya alam sejak 2014. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Safri menegaskan pihaknya mencatat hanya 10 persen dari sedikitnya 3.000 pabrik yang beroperasi di sepanjang Citarum, memiliki Instalansi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Walaupun memiliki IPAL, sebagian dari mereka diduga tak konsisten melakukan pengolahan limbah.
Sisanya, 90 persen masih ditelusuri, namun diduga belum memiliki IPAL. Bila benar, artinya ada 'kongkalikong' antara birokrasi dan industri.
Pasalnya, operasi pabrik tak mungkin berjalan bila tak ada izin dari birokrasi. Sedangkan untuk menerbitkan izin, diperlukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dengan IPAL sebagai salah satu syaratnya.
"Ini ada salah dari pihak pemerintah juga. Kenapa kasih izin padahal tidak punya IPAL?" kata dia.
'ATM' Petugas dan KorupsiKPK sendiri memfokuskan kajian tata kelola di kawasan hulu sungai dan aliran sungai, di antaranya adalah Citarum-Cisadane; Citarum; dan Cimanuk. Khusus IPAL, lembaga itu mencatat ada dugaan penggunaan IPAL yang tak sesuai dengan aturan.
Ketua Tim Monitoring Pencemaran dan Kerusakan Sumber Daya Air KPK Epa Kartika mengatakan potensi korupsi terkait dengan pemasangan IPAL tak sesuai dengan persyaratan namun tetap dikasih izin.
Tak hanya itu, pengawasan IPAL juga dapat menjadi ajang korupsi: industri yang ditemukan tak patuh namun dilaporkan patuh oleh bagian pengawasan.
"Ini menjadi ATM petugas pengawas. Dari hal kecil dikalikan jumlah industri yang ribuan, bisa jadi besar juga," katanya kepada CNNIndonesia.com pada akhir Maret.
KPK juga menyoroti soal dugaan piutang pajak air tanah yang belum disetorkan kepada negara. Penggunaan air tanah berlebihan terjadi karena keterbatasan PAM mengakses sumber air baku. Masalahnya klasik: pencemaran terjadi di hulu sungai Citarum.
"Ada potensi piutang pajak air tanah dari sektor industri, akibat problem kepatuhan yang tidak atau belum terbayarkan," katanya.
Dia menuturkan masalah seputar Citarum juga berkaitan dengan ketidaktegasan pemerintah dalam pengawasan pelaku industri. Epa menegaskan hal itulah yang menyebabkan kualitas lingkungan di DAS Citarum kian menurun.
KPK juga mengendus potensi korupsi skala besar yakni soal pengelolaan sungai. Hal itu berkaitan dengan pelbagai proyek pengendalian pencemaran sungai hingga pembangunan infrastruktur terkait dengan hal tersebut.
"Biasanya ini dikombinasikan dengan inefektifitas dan inefisiensi program sehingga walaupun banyak uang yang digelontorkan tetap saja Citarum tidak harum-harum juga," kata Epa.
Aksi strategis jangka pendek KPK sendiri adalah berupaya menutup titik rawan korupsi dan menyelamatkan kekayaan negara. "Penegakan sanksi bagi pelaku usaha yang tidak
comply," tegasnya.
Di luar penciuman KPK, Safri mengatakan, beberapa industri mulai 'kasak-kusuk' dalam kepanikan. Sebagian mereka mulai mengurus IPAL melalui para ahli lingkungan di sekitar Jawa Barat.
"Mereka mulai gelisah. Beberapa konsultan pengelola IPAL dan para ahli sedang sibuk. Mereka dikontak perusahaan, untuk tanya bagaimana mengurus IPAL itu," ucapnya.
Mengulur WaktuPadahal, menurutnya, pemerintah bukan baru kali ini menagih IPAL, justru hal itu telah dilakukan sejak Oktober 2017 lalu, dengan melakukan sosialisasi kepada industri agar mereka segera memiliki IPAL.
Namun, yang terjadi, industri kerap meminta waktu kepada pemerintah untuk mengurusnya.
Sayangnya, revitalisasi di bawah komando Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan tak bisa menunggu lama. Dia menuturkan sudah ada beberapa perusahaan yang diselidiki dan diberikan sanksi.
"Beberapa sudah kami berikan sanksi administrasi," tutup Safri.
Bisa jadi, publik bakal menunggu apakah amunisi KPK-beserta Presiden Jokowi, bakal membuat Citarum kembali harum atau terus membusuk.
(asa)