Jakarta, CNN Indonesia -- Kursi pimpinan MPR dinilai jadi jalan pintas bagi Ketua Umum PKB
Muhaimin Iskandar alias Cak Imin untuk mendekati Presiden Joko Widodo. Namun, peluangnya menjadi calon Wakil Presiden dipandang tipis karena terlalu agresif.
Tiga pimpinan baru MPR telah dilantik Senin (26/3) di Kompleks Parlemen, Jakarta. Sidang paripurna MPR resmi menetapkan politikus PDIP Ahmad Basarah, politikus Gerindra Ahmad Muzani, dan Cak Imin sebagai Wakil Ketua baru MPR.
Sidang tersebut melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang mengatur penambahan kursi pimpinan MPR dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak di DPR dalam Pemilu 2014 berdasarkan urutan 1, 3, dan 6.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam rapat itu, tak satu pun anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di DPR hadir sebagai bentuk protes terhadap UU MD3 dan pengangkatan Cak Imin sebagai pimpinan MPR.
Ketua Fraksi PPP di MPR Arwani Thomafi mengatakan hal tersebut sebagai konsistensi mereka menolak revisi UU MD3. Salah satu yang mereka soroti adalah pasal penambahan pimpinan MPR.
"Revisi UU MD3 salah satunya mengakomodir partai politik pemenang Pemilu. Fraksi PPP sepakat kalau prinsipnya ke arah sana," ujar Arwani saat dihubungi
CNNIndonesia.com awal pekan ini.
Dalam perjalanannya, fraksi-fraksi lain menginginkan jatah kursi di parlemen. PPP menilai itu menyalahi tujuan awal revisi UU tersebut.
"Urgensinya apa? Yang kita baca bagi-bagi kursi saja," cetus dia.
 Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy di kantornya, Jakarta, Minggu (26/3). ( Foto: CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
PKB memilih tak ambil pusing dengan aksi absen dan penolakan oleh PPP. Sekjen PKB Abdul Kadir Karding menyebut hal itu hanya bentuk kekecewaan PPP yang tidak dapat jatah pimpinan parlemen.
"Ya Wajar saja kalau teman-teman PPP mengambil sikap politik tersebut. Karena mereka salah satunya yang kebetulan tidak dapat jatah," tulisnya kepada
CNNIndonesia.com via pesan singkat.
Senada, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syatif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai hal tersebut sebagai kecemburuan sosial dan politik dari PPP.
Kursi pimpinan MPR menurutnya sangat prestisius dan bergengsi bagi tokoh dan partai politik. Terlebih lagi orang yang menjabat pimpinan MPR mendapat kesempatan untuk sering bertemu dengan presiden.
"[Pimpinan MPR] ini jalan tol untuk berkomunikasi langsung baik secara kenegaraan ke Presiden. Ada kecemburuan sosial, kecemburuan politik yang dialami PPP," kata Adi saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Senin (26/3).
Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romi sendiri membantah ada rivalitas antara PPP dengan PKB sebagai sesama pengusung Jokowi. Kritiknya soal UU MD3 hanya bentuk konsistensi partai terhadap perundangan yang dianggap melenceng.
"Ya pastilah. Kita tidak ada rivalitas antara sesama partai koalisi pendukung Pak Jokowi," ucap Romi di kantor DPP PPP, Jakarta, Senin (26/3).
Namun Adi menyatakan sulit melepaskan polemik pimpinan MPR dari kepentingan politik. Sebab, kata dia, menjadi pimpinan MPR akan menjadi nilai tambah bagi seseorang dalam menuju posisi tertentu, seperti calon Wakil Presiden.
 Tiga pimpinan baru MPR, yakni Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ahmad Basarah dari PDIP, dan Ahmad Muzani dari Partai Gerindra, di Jakarta, Senin (26/3). ( CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Cak Imin dan Romi disebut masuk dalam bursa cawapres. Cak Imin telah terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai cawapres untuk Pemilu 2019. Sementara Romi belum deklarasi meski sudah memberi kategori-kategori cawapres ideal.
Menjadi pemimpin MPR, menurut Adi, memiliki keuntungan berupa citra sebagai negarawan. Hal itu pun menjadi nilai tambah bagi Cak Imin ketimbang Gus Romi yang tidak dalam jabatan itu.
"MPR dianggap sebagai tempat negarawan, tokoh-tokoh bangsa yang dikirim partai politik menempati posisi strategis itu. Inilah yang harus dipahami kegalauan PPP," lanjut Adi.
Filosofi JawaNamun, hal ini tak otomatis membuat Cak Imin berpeluang besar mendampingi Jokowi di 2019. Adi menilai Cak Imin terlalu agresif. Sementara, Jokowi sebagai orang Jawa menerapkan filosofi politik Jawa yang tak suka dengan pihak terlampau agresif menginginkan jabatan.
"Dia (Cak Imin)
overagressive," ucap dia.
Filosofi ini dapat menjelaskan kenapa Jokowi belum menentukan pendampingnya hingga kini meski banyak tokoh sudah mengantre. Jokowi, kata Adi, masih melihat agresivitas para politikus.
"Dalam filosofi politik orang Jawa, jangan sampai sekali-kali memberikan jabatan politik ke orang yang sangat menginginkan, pasti tidak amanah," Adi menjelaskan.
(arh/wis)