Jakarta, CNN Indonesia -- Jajang memacu sepeda motor bebeknya pada suatu siang akhir Februari lalu. Dia membawa isterinya, Omah, menuju salah satu sawah di Desa Sukamulya, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Pasangan itu bekerja sebagai buruh tani sejak puluhan tahun lalu, mengurusi sawah seluas 256 bata atau sekitar 3.584 meter persegi. Lahan ini bukan milik mereka. Keduanya bertugas menanam, merawat, dan memanen padi. Hasilnya mereka bagi dua dengan pemilik lahan.
Jajang dan Omah juga menyaksikan perubahan besar di desa mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil panen padi di sana dinilai tak lagi sebaik dan sebanyak periode 1990-an, sebelum pabrik-pabrik tumbuh bak jamur di Rancaekek.
Desa Sukamulya berdekatan dengan Sungai Cikijing, anak sungai dari Citarum. Limbah pabrik diduga tak hanya masuk ke sungai tersebut, namun juga ke sawah para petani lokal.
"Dulu
mah 100 bata (1.400 meter persegi) bisa panen tujuh sampai delapan kuintal tahun 1990-an. Sekarang lima puluh kilogram saja susah," ujar Jajang, pada Sabtu (24/2).
Diketahui, ukuran satu bata kira-kira sama dengan 14 m2.
Omah menambahkan kualitas padi yang dipanen di lahannya juga tak sebaik dahulu. Dulu kualitas beras Sukamulya setara dengan beras unggulan dari Cianjur.
Dia menilai gara-gara limbah pabrik, beras dari Rancaekek berubah rapuh. Padi-padi berbintik hitam. Rasa nasinya juga tak lebih baik dari Raskin-beras untuk golongan miskin.
 Padi yang terkena limbah pabrik. (Foto: CNN Indonesia/Dhio Faiz) |
Imbasnya, pengepul beras pun tak tertarik dengan hasil pertanian dari Desa Sukamulya. Mereka tak berani menawar dengan harga tinggi.
"Masih laku, tapi harganya jatuh. Kalau orang tahu berasnya dari Sukamulya, pasti setengah harga dijualnya. Biasanya Rp400 ribu per kuintal, beras di sini cuma Rp250 ribu sampai Rp350 ribu," ungkapnya.
Persoalan tak hanya muncul dari beras.
Keluarga Owo di Desa Linggar juga mengungkapkan hal serupa terkait dengan limbah. Keluarga ini memiliki kebun yang terletak di belakang masjid desa tersebut.
Owo dan keluarga menanam sayur dan buah di kebun dengan luas sekitar 150 meter persegi. Selain itu juga ada kolam ikan.
Pada 2015, Owo sudah mencoba menanam berbagai tanaman, seperti pohon pisang, pohon mangga apel, pohon labu, dan pohon mangga harum manis. Namun upayanya tak pernah berbuah manis.
"Ini rata-rata enggak bisa tumbuh. Lihat ini, mangga Harum Manis. Setiap gede sedikit langsung jatuh dari dahannya. Enggak pernah panen," kata Owo.
Air Tak Bisa DiminumWarga Desa Linggar lainnya Iwa Kustiwa mengatakan limbah pabrik mengotori sumber air bersih di lingkungannya. Dia mengatakan air tanah di wilayah itu sudah tak bisa lagi diminum.
Rata-rata warga di sekitar Sungai Cikijing membeli air galon untuk keperluan minum. Sementara untuk mandi dan kegiatan mencuci, warga menggunakan air dari tanah yang harus disaring terlebih dulu.
"Rata-rata di sini pada beli air galon," tuturnya.
Laporan lembaga lingkungan hidup Greenpeace pada 2016 menemukan limbah industri yang mencemari Cikijing merusak ratusan hektare sawah. Cikijing sendiri masuk dalam kategori sungai yang tercemar berat. Dampak limbah juga terjadi pada ternak, kebun dan kolam milik warga lokal.
Pada Januari lalu, hasil patroli Tim Citarum Harum-gabungan lintas instansi Pemerintah Daerah Jawa Barat-menemukan puluhan perusahaan yang diduga membuang limbahnya ke Sungai Citarum. Salah satunya, melalui Cikijing.
Keluhan warga di sekitar Cikijing memang bukan sekadar omong kosong.
CNNIndonesia.com pun meminta keterangan dari salah satu perusahaan tekstil terbesar di Jawa Barat, PT Kahatex terkait dengan dugaan pencemaran.
Manajer Umum PT Kahatex Luddy Sutedja mengatakan pihaknya mengakui ada lahan yang tercemar di kawasan Cikijing. Namun itu bukan akibat perusahaannya saja.
 Manajer Umum PT Kahatex Luddy Sutedja. (CNN Indonesia/Dhio Faiz) |
Dia juga mengklaim perusahaan sendiri sudah memiliki standar pengolahan limbah yang baik. Setidaknya ada 7 hektare instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) yang dimiliki PT Kahatex.
Luddy mengklaim pihaknya menggelontorkan dana hingga Rp10 miliar tiap bulan untuk mengelola limbah.
"Buat kami terus terang saja, Cikijing persoalan bersama dan sudah bertahun-tahun Cikijing itu," kata Luddy saat ditemui di Pabrik II Kahatex di Rancaekek, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pada akhir Februari.
Namun dia menegaskan perusahaan tersebut adalah eksportir untuk hampir 80 negara, dan separuhnya adalah ke Eropa.
"Anda tahu
concern-nya orang Eropa terkait lingkungan? Bagaimana produk kita bisa ke mereka kalau kita mencemari lingkungan?" kata dia.
Klaim soal bukan satu-satunya 'penyumbang' limbah oleh Kahatex, bisa jadi benar. Artinya, Cikijing hingga Citarum sudah puluhan tahun dibebani dengan pelbagai macam limbah.
Limbah 'Serang' IrigasiDirektur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat Dadan Ramdan menuturkan secara umum daya dukung Sungai Cikijing sudah jauh berkurang. "Kasus Cikijing, secara kasat mata saja daya dukung sudah menurun karena air alamiah enggak ada," kata Dadan di Bandung, akhir Februari.
Namun dia juga mengingatkan soal aliran limbah pabrik yang menggenangi saluran irigasi dan sumber air warga. Baik secara langsung maupun merembes.
Warga sebelumnya pun mendapatkan fasilitas aluran irigasi sendiri. Letaknya sekitar seratus meter dari sungai Cikijing. Namun, air limbah dari sungai Cikijing yang berujung ke irigasi menjadikan aliran airnya tercemar.
Kini fasilitas itu tak bisa lagi digunakan. Warga akhirnya tetap memakai air dari Cikijing untuk bertani-karena tak ada pilihan lain.
Termasuk buruh tani dari Sukamulya, Jajang dan Omah.
Pasangan itu, bisa jadi bakal terus bertani di kampung halaman mereka. Namun keduanya mungkin juga tak berdaya, saat harga beras jatuh dan terhempas.
(asa)