Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar majelis hakim mencabut hak politik
Setya Novanto, terdakwa korupsi proyek pengadaan e-KTP, selama 5 tahun usai menjalani masa hukuman pidana penjara.
"Menjatuhkan pidana tambahan berupa mencabut hak terdakwa menduduki jabatan publik selama 5 tahun, terhitung terdakwa selesai menjalani masa pemidanaan," kata jaksa KPK Abdul Basir membacakan surat tuntutan Setnov di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (29/3).
Sebelumnya jaksa penuntut umum KPK meminta agar majelis hakim menjatuhi Setnov hukuman penjara selama 16 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, mantan Ketua Umum Partai Golkar itu juga dituntut untuk membayar uang pengganti sejumlah US$7,4 juta dikurangi dengan uang yang telah dikembalikan ke KPK sebesar Rp5 miliar. Bila tak dibayar maka diganti dengan 3 tahun kurungan penjara.
Setnov dinilai terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa KPK meyakini Setnov bersalah melakukan korupsi dalam proyek e-KTP lantaran telah mengintervensi mulai pembahasan anggaran sampai dengan pengadaan kartu identitas berbasis elektronik itu.
Setnov pun dinilai terbukti menerima uang sebesar US$7,3 juta dari proyek e-KTP. Uang itu diterima lewat koleganya yang juga pemilik PT Delta Energy Made Oka Masagung sebesar US$3,8 juta dan keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo sejumlah US$3,5 juta.
Sementara Setnov menanggapi tuntutan jaksa. Dia menghargai tuntutan tersebut dan akan menyampaikan pembelaan pada sidang selanjutnya, Jumat (13/4).
Sebelum terjerat kasus korupsi e-KTP,
Setya Novanto menjabat ketua DPR RI. Ayah empat anak ini juga pernah menjabat sebagai ketua umum Partai Golkar.
(pmg)