Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memandang kepemilikan Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP sebagai syarat bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dalam pilkada serentak berpotensi menjadi pelanggaran HAM oleh negara.
Kepemilikan e-KTP sebagai syarat mencoblos diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
"Berbeda dengan periode-periode sebelumnya, di mana seorang pemilih [yang] terdaftar dalam daftar pemilih sudah dipastikan bisa menggunakan hak pilihnya," kata Hairiansyah saat jumpa pers di gedung Komnas HAM, Senin (16/4).
Menurut Hairiansyah, syarat kepemilikan e-KTP dapat menimbulkan persoalan HAM dalam Pilkada karena masih banyak warga negara yang belum memiliki e-KTP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hak memilih bagi warga yang tak punya e-KTP lantas hilang. Padahal, kata dia, Pasal 43 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk dapat dipilih dan memilih dalam Pemilu berdasarkan persamaan hak.
Selain itu, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 juga menekankan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas.
Berdasarkan data Komnas HAM, dari sekitar 152,9 juta pemilih terdaftar saat ini, terdapat kurang lebih 6,7 juta jiwa yang berpotensi kehilangan hak pilihnya pada Pilkada serentak di bulan Juni mendatang karena belum memiliki e-KTP atau belum melakukan perekaman.
Ada beragam penyebab warga belum memiliki e-KTP, misalnya karena keterbatasan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) dalam melakukan perekaman, atau keterbatasan kapasitas alat dan personel yang tersedia.
Faktor lain kata Hairiansyah adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk memastikan mereka dapat menggunakan hak pilihnya.
Hairiansyah mengakui ada sisi positif dalam syarat kepemilikan e-KTP untuk berpartisipasi dalam pilkada. Misalnya untuk meminimalisir pemanfaatan data ganda. Namun, Komnas HAM sangat menyayangkan apabila syarat ini menjadi alasan tidak terpenuhinya hak konstitusional warga negara untuk memilih pemimpinnya.
Ia pun berharap Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan ini, demi menjamin terpenuhinya HAM untuk seluruh masyarakat.
"Kami berharap ada terobosan yang harus dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri dan juga Komisi Pemilihan Umum dalam rangka memastikan pada tanggal 27 Juni nanti setiap warga negara bisa menggunakan hak pilihnya dengan baik," tutur Hairiansyah.
(wis/ugo)