Jakarta, CNN Indonesia -- Rapat koordinasi nasional (Rakornas) Partai Gerindra pada 11 April lalu resmi mengusung Ketua Umum
Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden (capres) di Pilpres 2019. Prabowo pun menerima mandat pencapresan dari partainya tersebut.
Meski begitu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melihat peluang Prabowo yang tidak jadi maju sebagai bakal calon presiden tahun depan.
Politikus PKS, Nasir Djamil mengatakan pencalonan Prabowo belum final. Dia justru tidak yakin Prabowo pada akhirnya akan kembali maju dan akan memberi 'tiket' capres kepada orang lain yang dianggap tepat, dalam hal ini mantan Panglima TNI Jenderal (Purn)
Gatot Nurmantyo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya punya analisa itu, tiket itu akan diberikan ke orang lain. Yang paling berkesempatan untuk mendapatkan itu adalah Gatot," kata Nasir.
Sinyal itu didukung pula oleh foto situasi perayaan HUT Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD yang viral (virus virtual) di media sosial. Tampak Prabowo dan Gatot hadir dan duduk bersebelahan. Hal itu terungkap dari foto yang diunggah akun twitter JS Prabowo.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun sepakat dengan pandangan Nasir Jamil. Dia menganggap saat ini masih terbuka kemungkinan Prabowo menjadi
king maker dan menyerahkan mandat ke Gatot sebagai capres.
"Tapi itu sangat ditentukan oleh Prabowo, kuncinya ada di Prabowo. Yang jelas Prabowo ingin dirinya atau orang yang dijagokannya menang di Pilpres 2019 mendatang," kata Ubedillah saat dihubungi
CNNIndonesia.com pada Selasa (17/4).
Ubedillah menilai Prabowo saat ini sedang memperhatikan gerak politik Gatot yang semakin menunjukan eksistensinya di perpolitikan tanah air. Kedekatan antara keduanya pun makin diperlihatkan ketika sama-sama menghadiri HUT Kopassus.
Ia mengatakan ada beberapa faktor yang dapat memungkinkan Prabowo menyerahkan mandat ke Gatot untuk Pilpres 2019 mendatang.
Pertama, Prabowo sedang mempertimbangkan daya elektabilitas Gatot yang cenderung difavoritkan sebagai capres maupun cawapres oleh sejumlah lembaga survei.
Berdasarkan survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai KOPI), nama Gatot masuk dalam bursa calon presiden dengan elektabilitasnya terbilang kecil yakni hanya 2,1 persen. Elektabilitas tersebut berada di posisi ketiga setelah Jokowi dan Prabowo Subianto.
Akan tetapi, elektabilitas Gatot sebagai cawapres memiliki angka tertinggi diangka 17,5 persen. Ia mengalahkan AHY dengan elektabilitas 8,7 persen dan Anies Baswedan 8,6 persen.
Sementara lembaga survei Alvara Research Center, nama Gatot Nurmantyo ada di posisi kedua dengan elektabilitas 15,2 persen. Ia kalah dari AHY dengan elektabilitas 17,2 persen.
Atas dasar itu, Gatot saat ini berada dalam pantauan Prabowo. Jika Gatot berhasil menaikkan terus elektabilitasnya, maka Prabowo bisa mempertimbangkan untuk menyerahkan 'tiket' capres kepadanya.
"Saya kira Prabowo masih mau lihat elektabilitasnya Gatot. Elektabilitasnya (Gatot) masih di bawah 10 persen. Jadi Gatot harus menaikan elektabilitasnya agar terus naik, maka Prabowo bersedia untuk menyerahkan kepada Gatot," kata Ubedillah.
Faktor DuitFaktor selanjutnya, Ubedillah menilai, Prabowo sedang memikirkan ulang faktor logistik yang tak murah jika ingin maju sebagai capres 2019 mendatang.
Hal itu didukung pula oleh pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo yang mengatakan faktor logistik menjadi pertimbangan Prabowo untuk maju sebagai calon presiden 2019.
Menurut Ubedillah, kontestasi pemilihan presiden di Indonesia yang begitu liberal dan terbuka membutuhkan dana yang tak sedikit. Ia merinci setidaknya kandidat membutuhkan Rp3 triliun sampai Rp7 triliun untuk mengarungi seluruh tahapan pilpres.
"Untuk saksi saja sudah jutaan TPS, angkaya sudah trilunan, jadi logistik jadi faktor ya. Bagaimana kemudian Prabowo mengambil keputusan," kata dia.
Terlebih lagi, kata dia, rekam jejak Prabowo yang pernah mengalami kekalahan di dua pilpres sebelumnya disebut telah menguras kantong Prabowo, sehingga berpikir ulang kembali maju di Pilpres 2019 mendatang.
Prabowo sebelumnya sudah dua kali berlaga di pilpres. Satu kali sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri di Pilpres 2009 dan sekali sebagai calon presiden berpasangan dengan Hatta Rajasa di Pilpres 2014.
"Secara logistik sudah cukup banyak yang dikeluarkan Prabowo untuk ikut dalam konstestasi pilpres sebelumnya dan dua-duanya kalah. Jadi tambah tragis sih klo 2019 Prabowo kalah," ujarnya.
 Gatot Nurmantyo dinilai sudah punya kedekatan emosional dengan Prabowo Subianto. (CNN Indonesia/Hesti Rika). |
Di sisi lain Ubedillah menyebut tugas Gatot lain jika ingin menjadi capres, yakni harus menggenjot persiapan logistiknya. Ia menyarankan agar Gatot bisa membuka partisipasi publik melalui 'dana gotong royong' agar tak kesulitan logistik seperti yang dialami Prabowo.
"Gatot harus bisa membuka peluang publik untuk secara finansial memberikan dukungan kepada Gatot, bisa saja gatot membuka rekening buat dia jadi presidien," kata dia.
Faktor terakhir, kata Ubedillah, secara sosiologis Gatot berasal dari Pulau Jawa dan memiliki basis massa yang cukup besar, terutama dari kalangan Islam. Ubedillah menilai bahwa Gatot sudah memiliki modal sosial yang cukup untuk bertarung sebagai capres.
Ia mengatakan tugas Gatot tinggal mengikisi kelemahannya, yakni melobi secara intens parpol-parpol pendukung Prabowo, seperti Gerindra dan PKS, agar jalannya sebagai capres semakin mudah.
"Gatot punya hubungan yang dekat dengan kelompok muslim ya, yang moderat maupun yang sedikit galak itu, jadi Gatot bisa mengendalikan kedekatan secara baik, jadi secara sosiologis punya modal sosial yang cukup sebagai capres," ucap dia.
Kedekatan EmosionalSementara itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati menilai ikatan emosional antara Prabowo dan Gatot sudah terjalin sangat dekat.
Hal itu terlihat dari posisi duduk antara Gatot dan Prabowo yang saling berdekatan saat menghadiri HUT Kopassus kemarin, Senin (16/4).
Menurutnya, tempat atau posisi duduk yang saling berdekatan merupakan simbolisasi Prabowo secara politik untuk menunjukan kepada masyarakat bahwa Gatot merupakan tokoh yang berpeluang besar akan diberikan mandatnya sebagai capres 2019 mendatang.
"Kedekatan posisi duduk itu menunjukan kedekatan emosional dan menunjukan secara politik menyimbolkan bahwa 'inilah orang yang terpilih atau saya tunjuk'," kata Wasisto.
Menurut Wasisto, dalam tradisi militer Indonesia tak sembarangan orang bisa duduk langsung di samping komandan atau seniornya secara langsung tanpa dilandasi adanya hubungan emosional atau kepentingan tertentu.
"Jadi saya rasa dari situasi itu, bisa jadi GNR (Gatot Nurmantyo) yang akan diberikan mandat oleh Prabowo," kata dia.
Menurut alumnus Universitas Gadjah Mada itu, Gatot memiliki nilai jual yang lebih di mata masyarakat ketimbang Prabowo. Hal itu didasarkan pada pergerakan Gatot yang secara cepat berhasil menghimpun kekuatan relawan untuk mendukungnya di Pilpres 2019 mendatang pascapensiun dari militer 1 April lalu.
Diketahui, Gatot memiliki dua kelompok relawan yang kukuh mengusungnya sebagai capres, yakni Relawan Selendang Putih Nusantara (RSPN) dan relawan Gatot Nurmantyo untuk Rakyat (GNR).
"Ini (relawan Gatot) ditangkap Gerindra menjadi nilai bagus dan nilai topang untuk pengusungannya nanti. Kalau dia nggak punya relawan, sulit bagi partai untuk mengusungnya lebih lanjut," ujar dia.
(osc/gil)