Revisi UU Terorisme, Keresahan Negara Usai Bom Surabaya

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Selasa, 15 Mei 2018 09:44 WIB
Jokowi dinilai reaktif mendesak RUU Terorisme disahkan, sementara selama ini tidak ada evaluasi atas operasi anti-teror yang dilakukan aparat kepolisian.
Presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi ledakan bom di Surabaya. (Biro Pers Setpres/ Bey Machmudin)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo bereaksi atas rentetan teror bom di Surabaya dan Sidoarjo maupun kerusuhan di Mako Brimob, Depok. Jokowi mendesak DPR dan kementerian terkait segera menyelesaikan Revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Polda Jawa Timur menyebutkan korban meninggal dunia dalam teror bom di Surabaya dan Sidoarjo hingga Senin (14/5) petang berjumlah 28 orang, 57 lainnya luka-luka.

Kasus ini diduga terkait dengan insiden sebelumnya, Selasa (8/5), di Mako Brimob yang menewaskan enam orang. Usai kejadian itu, polisi juga menangkap dan menembak mati sejumlah terduga teroris.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Setidaknya, empat orang terduga teroris ditembak mati di Cianjur, Jawa Barat, pada Minggu (13/5). Penindakan ini berlangsung sekitar empat jam sebelum bom meledak di tiga gereja di Surabaya.

Selain itu, polisi juga menangkap dua perempuan yang diduga akan menusuk anggota polisi di Mako Brimob. Kejadian lain, aparat menangkap orang yang sedang memotret polisi di sebuah gereja.

Menyikapi serangan teror, Kapolri Jenderal Tito Karnavian berharap UU Antiterorisme segera direvisi. Bahkan bila perlu, presiden menerbitkan perppu. Tito berdalih polisi kesulitan menindaklanjuti penyelidikan dengan payung hukum yang ada saat ini.

Kelompok masyarakat sipil ikut menyoroti Revisi UU Antiterorisme. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya ada 11 pasal bermasalah pada naskah RUU tersebut.


Beberapa potensi pelanggaran HAM yang disoroti di antaranya terkait pidana mati serta tidak ada indikator yang jelas terkait perbuatan dan pemikiran "keras atau ekstrem".

Ada pula potensi penyalahgunaan "deradikalisasi" sebagai bentuk penyekapan. Keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme juga dianggap jauh dari pendekatan penegakan hukum.

KontraS juga menyoroti potensi penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang selama proses penangkapan, serta penyadapan tanpa aturan yang jelas.

Mantan narapidana kasus terorisme dalam aksi pengeboman Hotel JW Marriott Jakarta, Muhammad Jibriel Abdul Rahman menilai tak ada manfaat dari merevisi UU antiterorisme. Persoalan utama menurutnya adalah penyebaran ideologi sesat kelompok teroris melalui berbagai saluran alat komunikasi.

Revisi UU Terorisme, Ketakutan Negara Atas Bom SurabayaTim Densus Antiteror 88 saat penggerebekan teroris. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Di sisi lain, perlakuan aparat dalam menangani kasus terorisme di lapangan tidak berubah hingga kini. Terbukti masih banyaknya terduga teroris yang tewas sebelum dibawa ke meja pengadilan.

Jibriel menyimpan pengalaman buruk saat dirinya ditangani aparat.

"Saya dulu dituduh teroris. Belum apa-apa saja saya sudah disiksa, gigi banyak yang copot, apa bedanya disahkan atau tidak, enggak ada," kata Jibriel kepada CNNIndonesia.com.

Jibriel menilai undang-undang yang ada saat ini pada dasarnya sudah cukup mengatur segala ketentuan hukum untuk menindak kelompok teroris. Hanya saja, menurutnya, Polri perlu membenahi diri dalam menegakkan hukum.

"Kalau polisi sudah mengetahui tersangka, ya tangkap saja, selama itu kasus terorisme siapa pun akan setuju, yang penting [polisi] tidak melakukan hal zalim," ujar Jibriel.


Pegiat HAM dari Amnesty Internasional Indonesia Puri Kencana Putri menilai desakan untuk segera merevisi UU antiterorisme menunjukkan sikap reaktif pemerintah.

Puri berpendapat proses evaluasi terhadap operasi anti-teror sejak 2003 hingga kini seharusnya dilakukan sebelum ada usulan merevisi UU Antiterorisme. Dia mengatakan ada banyak operasi pemberantasan teroris namun tak pernah ada evaluasi atas implementasi UU nomor 15 Tahun 2003.

"Yang terjadi hari ini negara reaktif sekali. Kalau ada hashtag #KamiTidakTakut sebenarnya negara takut juga, ketakutannya dijawab dengan mempercepat proses revisi," kata Puri saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Puri menyebut kasus kematian Siyono, terduga teroris di Klaten, merupakan contoh indikasi pelanggaran oleh penegak hukum yang paling menyita perhatian publik. Menurutnya, aparat melakukan proses peradilan sesat (unfair trial).

"Masih ada orang dituduh teroris tapi langsung ditembak mati, peristiwa di Cianjur kemarin sudah lewat empat orang [ditembak mati]" kata Puri.


Sependapat dengan Jibriel, Puri pun menilai hal penting yang perlu dilakukan saat ini adalah memperkuat peran Polri dalam menangani terorisme.

Selain itu, dia juga mengingatkan peran Komisi Hukum DPR RI dan Komnas HAM agar melakukan proses pemantauan secara berkala terhadap tindakan aparat dalam menangani kasus terorisme.

Dalam draf RUU Antiterorisme, diusulkan tentang pembentukan tim pengawas penanggulangan terorisme oleh DPR. Pada bagian ini, hanya disebutkan ketentuan lebih lanjut terkait pembentukan tim diatur dengan peraturan DPR.

"Mako Brimob kemarin itu wajah situasi Indonesia hari ini. Yang ditonjolkan dramatisasi penggorokan, penyiksaan di dalam [sel], tapi tidak diceritakan ke mana tanggung jawab Komandan Brimob, kenapa ada aksi penguasaan sepihak Mako Brimob oleh napi teroris," kata Puri.
[Gambas:Video CNN] (gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER