Jakarta, CNN Indonesia -- "
With guns you can kill terrorists, with education you can kill terrorism," Malala Yousafazai, aktivis.
Kutipan Malala tersebut berusaha menyadarkan bahwa tindakan represif--seperti menggunakan senjata--tidak cukup untuk memberantas teroris penyebar radikalisme, paham yang menginginkan perubahan sosial politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Penyebab salah satu pelaku bom gereja Surabaya, Dita Oepriarto, melancarkan aksinya adalah karena dia diduga kuat memahami radikalisme sejak SMA dan kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adik kelas Dita yang bernama Ahmad Faiz Zainuddin menuturkan, terdapat penceramah di kampus mereka yang 'mencuci otak' jemaah mengenai pentingnya menegakkan Negara Islam Indonesia dan menggulingkan Pancasila.
Dari pengalamannya, kata Ahmad, tak semua pengajian mengajarkan hal positif. Ada juga yang justru menjadi tempat menanamkan benih-benih radikalisme.
Dita pun 'berhasil' menjadi penganut radikal. Berpuluh-puluh tahun kemudian, Dita meledakkan bom bunuh diri di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Minggu (13/5). Istrinya, Puji Kuswati bersama anaknya, FS dan FR melakukan aksi serupa di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jalan Diponegoro.
Sedangkan anak Dita yang lain, YF dan FH ditugaskan mengebom Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Ngagel.
Semua dilakukan atas nama jihad dan iming-iming surga.
Pemerhati pendidikan Universitas Multimedia Nusantara Doni Kusuma mengatakan kampus harus benar-benar mengetahui kegiatan dan konten kajian organisasi kerohaniaan mahasiswanya.
"Sejauh mereka mendalami ajaran agama, tidak masalah. Tetapi kalau sudah mulai menyimpang, harus dihentikan. Kampus tidak bisa dijadikan tempat untuk menyebarkan semangat radikal," kata Doni.
Menurut Doni, organisasi keagamaan di kampus tetap harus menumbuhkan rasa kebangsaan. Indonesia dalam hal ini adalah suatu kesatuan dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan.
"Dasarnya Pancasila. Baru setelah itu dia bicara tentang Islam, Katolik, dan sebagainya. Kalau dia sudah menolak pancasila, itu sudah politik. Berpotensi makar," ujarnya.
Doni yang pernah membantu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam upaya deradikalisasi guru SMA itu juga meminta peran aktif mahasiswa untuk menggunakan akal sehatnya ketika menerima ajaran yang secara logika menyimpang.
 Sejumlah warga menandatangani dukungan menentang teror di Indonesia. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra) |
Misal, ketika mahasiswa diceramahi harus menghabiskan nyawa sendiri atau orang lain demi suatu tujuan.
"Yang mudah terpengaruh adalah mereka yang punya semangat keagamaan tinggi, tetapi tidak atau kurang memiliki kemampuan berpikir kritis. Sehingga, dia mudah ditunggangi oleh ajaran yang bertentangan dengan nilai moral kemanusiaan," kata Doni.
Mahasiswa juga dituntut paham situasi ketika suatu kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu mulai menyebut-nyebut orang lain kafir atau thaghut.
"Harus waspada ketika sudah mengkafirkan orang islam sendiri yang bertentangan dengannya, mengkafirkan pemimpin negara, bicara thaghut ke polisi, kata-kata seperti itu sudah jelas kelompok teroris radikal," ujarnya.
Selain itu, Doni menyebut kampus harus mempunyai mekanisme pelaporan ketika ada gerakan radikal masuk kampus. Tahun 2013 lalu, pernah ada kegiatan baiat anggota ISIS di area Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pihak kampus pun mengakui kecolongan.
"Itu harusnya kampus UIN langsung tahu. Mereka nggak tahu karena dikiranya pertemuan biasa," kata Doni.
Upaya PemerintahKementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengaku sudah berupaya untuk mencegah penyebaran radikalisme di kampus.
Direktur Pembelajaran Kemenristekdikti Paristiyanti Nurwardani mengatakan Menteri Mohamad Nasir sudah mengeluarkan surat edaran tahun 2017 yang berisi bahwa rektor bertanggung jawab atas kegiatan kemahasiswaan, khususnya yang berbau agama.
Jika ditemukan ajaran ekstrem yang menyimpang dari nilai dan norma, rektor harus segera melaporkannya kepada Kemenristekdikti.
"Untuk pencegahan, pada saat mahasiswa masuk ke perguruan tunggi, sudah ada program bela negara. Seluruh orientasi mahasiswa baru, itu isinya bela negara dan cinta tanah air," kata Paris kepada
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
 Massa dari Persatuan Islam (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi) |
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Dirjen Belmawa) juga telah menginstruksikan kampus menerapkan kurikulum tersembunyi atau hidden curriculum terkait cinta Tanah Air di semua mata pelajaran.
"Para dosen itu sudah kita berikan bimbingan teknis dan ada panduan untuk pendidikan karakter. Setiap mengajar, dosen diminta melakukan penanaman bela negara 5-10 menit," ujarnya.
Nasir pun telah meneken Peraturan Menristekdikti nomor 44 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Paris menyebut bulan Juni 2018, Dirjen Belmawa akan mengeluarkan surat edaran untuk penerapan Permendikti 44/2015 itu.
"Salah satu yang dipantau adalah kegiatan-kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler, dan ko-kurikuler. Khususnya hal-hal yang menjadi masalah negara; radikalisme, terorisme dan sebagainya akan kita kawal dengan beberapa laporan dari semua perguruan tinggi tanpa terkecuali," kata Paris.
(gil)