Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (
BNPT) Ansyaad Mbai mengimbau pemerintah tidak merespons aksi teror secara berlebihan. Sebab menurutnya hal itu yang diinginkan para teroris.
"Mereka menunggu ada respons yang brutal dari pemerintah sehingga mereka mengkapitalisasi itu," kata Ansyaad kepada
CNNIndonesia.com.
Dia menilai aksi terorisme yang terjadi belakangan ini bukan hanya persoalan keamanan, tapi juga menyangkut urusan politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya saat ini banyak kegiatan politik praktis yang mengakomodasi radikalisme untuk kepentingan pemilihan umum semata.
"Sekarang banyak kegiatan politik praktis yang sudah mengakomodir paham-paham radikal untuk kepentingan elektoral, itu berbahaya," kata Ansyaad.
Karena itu, menurut Ansyaad, penindakan aparat keamanan dalam menanggulangi terorisme tidak akan efektif jika tak ada dukungan politik dari partai, DPR, kelompok elite, maupun ormas.
Dia mengatakan yang saat ini diperlukan adalah pemahaman semua pihak bahwa masalah terorisme bukan hanya tanggung jawab aparat kepolisian semata, tetapi semua pihak.
Dia mengatakan perlawanan terhadap terorisme harus dilakukan secara massif, bukan hanya secara parsial.
Ansyaad berpendapat perlu ada satu kebijakan komprehensif yang dibuat pemerintah untuk menangani aksi terorisme. Salah satunya menyelesaikan revisi UU Antiterorisme.
Barang bukti berupa mobil Avanza dan motor yang terbakar dalam penyerangan bom gereja dan Mapolrestabes Surabaya. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto) |
Rentetan kasus teror bom maupun penyerangan kantor kepolisian terjadi belakangan ini.
Kerusuhan narapidana teroris di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, mengawali serangan bom bertubi di Surabaya dan beberapa kota lainnya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut kerusuhan di Mako Brimob karena pengamanan yang diterapkan bukan untuk napi teroris. Selain itu Tito juga menyoroti soal kelebihan kapasitas.
Tak Ada EvaluasiPengamat terorisme Jibriel Abdul Rahman mengatakan kerusuhan di penjara bukan kali pertama terjadi. Namun, menurutnya selama ini tidak pernah ada evaluasi menyeluruh oleh kepolisian.
"Polisi selalu dan sering menyatakan akan melakukan evaluasi, akan melakukan hal-hal positif, tapi evaluasi tidak kena," kata Jibriel kepada
CNNIndonesia.com Kamis (17/5).
Jibriel yang juga pernah mendekam di Rutan Mako Brimob karena kasus terorisme menilai tempat tersebut memang tidak layak untuk dijadikan penjara bagi para narapidana teroris.
"Polisi ingin mudah saja, supaya bisa gampang interogasi," ujarnya.
Kendati demikian, Jibriel berpendapat pemisahan para tahanan teroris akan memiliki dampak masing-masing. Menurutnya pihak lapas seharusnya bisa membangun dialog dengan para napi teroris.
"Diajak dialog, membuka komunikasi, itu untuk membuka pikiran mereka," ucap Jibriel.
(pmg/gil)