
Pemerintah Sulit Awasi Radikalisme Lewat 'Homeschooling'
Sabtu, 19 Mei 2018 09:50 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengakui sulit mengawasi penyebaran paham radikalisme yang berpotensi menyebar melalui sekolah informal, khususnya sekolahrumah atau homeschooling tunggal yang diadakan oleh orang tua dalam satu keluarga.
Hal ini terkait anak-anak pelaku teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo yang merupakan korban indoktrinasi orang tuanya. Mereka tidak mendapat pendidikan formal dan dipaksa mengaku homeschooling.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud Harris Iskandar tak menampik homeschooling tunggal mungkin menjadi sarana baru bagi orang tua mengajarkan radikalisme pada anak.
"Kami sendiri masih tergagap-gagap. Terus terang, komunikasi orang tua terhadap anak, siapa yang bisa mengawasi? Instrumen apa? Kami nggak tahu bagaimana menjawab itu," kata Harris kepada CNNIndonesia.com, Jumat (18/5).
Potensi penyebaran radikalisme melalui homeschooling tunggal, kata Harris, di luar ekspektasinya. Terkait dengan hal itu, homeschooling telah diatur dalam Peraturan Mendikbud Nomor 129 Tahun 2014 tentang Sekolahrumah.
Harris menyebut pengawasan pembelajarannya tidak akan semudah sekolah formal pada umumnya.
"Sangat sulit. Sangat sulit. Kalau kita tanya secara baik-baik, pasti jawaban yang diberikan normatif. Tapi apa yang terjadi itu tetap mengkhawatirkan," katanya.
Mengacu pada permendikbud tersebut, penyelenggara homeschooling tunggal dan majemuk wajib mendaftar ke dinas pendidikan kabupaten/kota.
Membina Orang Tua
Dengan melengkapi persyaratan antara lain identitas diri orang tua dan peserta didik, serta surat pernyataan dari kedua orang tua yang menyatakan bahwa mereka bertanggungjawab untuk melaksanakan pendidikan di rumah.
Meski sulit, Harris berjanji Kemendikbud akan terus berupaya membina para orang tua pendidik homeschooling perihal wawasan kebangsaan, melalui seminar atau workshop.
Dihubungi terpisah, pengamat pendidikan sekaligus pendiri homeschooling Kak Seto (HSKS) Seto Mulyadi menilai peran Kemendikbud ataupun dinas pendidikan dalam mengawasi homeschooling masih rendah.
"Memang belum terlalu optimal. Nah, dengan adanya ini mungkin jadi catatan supaya perizinan dinas pendidikan dan pengawasan Kemendikbud lebih ketat," kata Seto.
Meski begitu, Seto mengingatkan betapa krusialnya peran masyarakat seperti tetangga atau lembaga pemerintahan di level terendah, seperti RT/RW dalam mengawasi lingkungannya. Khususnya, ketika ada anak yang tidak pernah tampak keluar rumah maupun pergi ke sekolah.
"Kalau memang mengaku homeschooling, oke, izinnya mana? Pencegahannya memberdayakan masyarakat untuk peduli kalau diketahui ada anak yang tidak pernah keluar, tidak pernah sekolah, tidak pernah bergaul," ujar dia.
"Itu dicurigai jangan-jangan ada kekerasan, dikunci di kamar terus bisa saja, atau salah satu mulai berkembang sekarang, pemasukan paham-paham radikalisme," kata Seto. (osc/asa)
Hal ini terkait anak-anak pelaku teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo yang merupakan korban indoktrinasi orang tuanya. Mereka tidak mendapat pendidikan formal dan dipaksa mengaku homeschooling.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud Harris Iskandar tak menampik homeschooling tunggal mungkin menjadi sarana baru bagi orang tua mengajarkan radikalisme pada anak.
"Kami sendiri masih tergagap-gagap. Terus terang, komunikasi orang tua terhadap anak, siapa yang bisa mengawasi? Instrumen apa? Kami nggak tahu bagaimana menjawab itu," kata Harris kepada CNNIndonesia.com, Jumat (18/5).
Potensi penyebaran radikalisme melalui homeschooling tunggal, kata Harris, di luar ekspektasinya. Terkait dengan hal itu, homeschooling telah diatur dalam Peraturan Mendikbud Nomor 129 Tahun 2014 tentang Sekolahrumah.
Harris menyebut pengawasan pembelajarannya tidak akan semudah sekolah formal pada umumnya.
"Sangat sulit. Sangat sulit. Kalau kita tanya secara baik-baik, pasti jawaban yang diberikan normatif. Tapi apa yang terjadi itu tetap mengkhawatirkan," katanya.
Mengacu pada permendikbud tersebut, penyelenggara homeschooling tunggal dan majemuk wajib mendaftar ke dinas pendidikan kabupaten/kota.
Membina Orang Tua
Dengan melengkapi persyaratan antara lain identitas diri orang tua dan peserta didik, serta surat pernyataan dari kedua orang tua yang menyatakan bahwa mereka bertanggungjawab untuk melaksanakan pendidikan di rumah.
Meski sulit, Harris berjanji Kemendikbud akan terus berupaya membina para orang tua pendidik homeschooling perihal wawasan kebangsaan, melalui seminar atau workshop.
Dihubungi terpisah, pengamat pendidikan sekaligus pendiri homeschooling Kak Seto (HSKS) Seto Mulyadi menilai peran Kemendikbud ataupun dinas pendidikan dalam mengawasi homeschooling masih rendah.
"Memang belum terlalu optimal. Nah, dengan adanya ini mungkin jadi catatan supaya perizinan dinas pendidikan dan pengawasan Kemendikbud lebih ketat," kata Seto.
Meski begitu, Seto mengingatkan betapa krusialnya peran masyarakat seperti tetangga atau lembaga pemerintahan di level terendah, seperti RT/RW dalam mengawasi lingkungannya. Khususnya, ketika ada anak yang tidak pernah tampak keluar rumah maupun pergi ke sekolah.
"Kalau memang mengaku homeschooling, oke, izinnya mana? Pencegahannya memberdayakan masyarakat untuk peduli kalau diketahui ada anak yang tidak pernah keluar, tidak pernah sekolah, tidak pernah bergaul," ujar dia.
"Itu dicurigai jangan-jangan ada kekerasan, dikunci di kamar terus bisa saja, atau salah satu mulai berkembang sekarang, pemasukan paham-paham radikalisme," kata Seto. (osc/asa)
TOPIK TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT
Lihat Semua
BERITA UTAMA
TERBARU
LAINNYA DI DETIKNETWORK