Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Danhil Anzar menilai pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak perlu menetapkan kualifikasi mubalig atau penceramah Islam Indonesia berdasarkan tingkatan.
Pernyataan Danhil ini menanggapi rencana penetapan kualifikasi mubalig berdasarkan tingkatan oleh Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Menurut saya tidak dibutuhkan pelevelan seperti itu," ujar Dahnil saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Rabu (23/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Danhil masyarakat sudah cukup cerdas untuk memilah mubalig atau ulama yang pantas didengarkan dan tidak.
Lebih lanjut, dia bilang penetapan tingkatan itu justru terkesan mengkotak-kotakan para mubalig.
Pelevelan mubalig ini, menurut dia, menciptakan kesan terdapat mubalig ekonomis dan premium.
"Itu dia. Ini, kan, namanya "pengkelasan" ustaz, agaknya tidak elok. Seolah ada ustaz premium, ada ustaz ekonomis jadi menurut saya tidak dibutuhkan," tutur dia.
Alih-alih menetapkan kualifikasi, Danhil bilang pemerintah dan MUI dapat memberikan fasiltas pelatihan-pelatihan dan dialog kepada mubalig atau ustaz apabila ingin menambah kapasitas dan kapabilitasnya.
"Terbatas, saran saya fasilitasi saja melalui MUI maupun ormas-ormas seperti Muhammadiyah, Persis, Al-Irsad, Nadhatul Ulama dan lain-lain," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat Cholil Nafis berkata MUI dan Kemenag sepakat mengenai perlunya penetapan kualifikasi mubalig atau penceramah Islam Indonesia berdasarkan tingkatan.
"Apa itu standardisasi da'i? Adalah memberikan kualifikasi da'i. Kualifikasi da'i umpamanya
high level,
middle, atau sampai
basic. Kalau kita ukur pada tingkat level internasional, nasional, dan daerah atau provinsi atau kabupaten/kota, itu perlu," kata Cholil.
(wis/gil)