Jakarta, CNN Indonesia -- Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam mendesak agar pemerintah dan DPR dapat memperbaiki enam pasal yang terkandung pada
RUU Terorisme.
Menurutnya, keenam pasal-pasal tersebut yang belum mengedepankan akuntabilitas dan memenuhi prinsip hak asasi manusia dalam pelaksanaannya.
"Kami berharap tetap ada perbaikan pada pasal pasal pokok yang berhubungan erat dengan hak asasi manusia," kata dia, dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (24/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Choirul lantas memberikan catatan penting bagi enam pasal yang sedang di godok DPR dan pemerintah tersebut.
Pertama, terkait penangkapan yang tertuang dalam pasal 28. Choirul mengatakan pasal ini perlu direvisi, terutama yang terkait dengan masalah waktu dan status pelaku selama penangkapan. Baginya, pasal ini sangat rawan pelanggaran HAM.
Menurutnya, seorang terduga terorisme terlebih dulu harus memenuhi bukti permulaan yang cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, penyidik harus memperhatikan aspek jangka waktu dan status penempatan tersangka.
 Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Terorisme Muhammad Syafii (kanan) dan Wakil Ketua Pansus RUU Terorisme Supiadin Aries Saputra (kiri), di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (23/5). ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Berkaitan dengan jangka waktu, Ia mengatakan bahwa DPR dan Pemerintah harus merevisi pasal tersebut dikarenakan waktu penangkapan terduga teroris terbilang terlalu lama yakni 21 hari.
"Karena penangkapan ini telah dilakukan dengan bukti permulaan yang cukup, artinya kontruksi tindak pidana yang dilakukan telah ada dan terumuskan," kata Chairul.
Selain itu, Chairul juga menyoroti status terduga teroris selama penahanan pada masa penyidikan, apakah berstatus sebagai tahanan atau hanya seseorang yang ditangkap namun dirampas kemerdekaan fisiknya dalam jangka waktu tertentu.
"Perlu untuk dituliskan dalam pasal 28 ini, dimana orang yang ditangkap tersebut ditahan atau dirampas kemerdekaan fisiknya? ini penting untuk akuntabilitas dan menghindari pelanggaran HAM," ujarnya.
Kedua, Choirul juga menyoroti persoalan penyadapan dalam pasal 31 yang masih belum jelas karena masih masuk dalam kerja-kerja intelijen ketimbang untuk penegakan hukum oleh penyidik.
Ia mengatakan jika penyadapan dimaknai sebagai penegakan hukum, maka aturan soal jangka waktu selama setahun sangat irasional dan tak bisa diperpanjang lagi.
"Kerangka kerja ini dalam konteks pidana memilki prinsip, waktu yang terbatas, sifat cepat diadili dan efektif. lni bertentangan dengan lamanya waktu penyadapan oleh penyidik sampai 1 tahun," kata Choirul.
Ketiga, Chairul juga menyoroti persoalan pelibatan TNI dalam pasal 43j RUU Antiterorisme. Menurutnya, pelibatan TNI kurang tepat dalam kerangka penegakan hukum dikarenakan terdapat aparat yang berwenang untuk menegakan aturan tersebut.
 Penggerebekan rumah terduga teroris, di Desa Sumber Kedawung, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo, 18 Mei. ( (CNN Indonesia/Kurniawan) |
"Pelibatan TNI disesuaikan dengan tupoksinya yang telah diatur dalam UU TNI. Penting dalam pelibatan ini adalah pengaturan skala ancaman, obyek vital, penindakan, sifat sementara dan merupakan keputusan politik," ujarnya.
Keempat, Choirul juga menyoroti pasal 42i soal mekanisme pengawasan yang belum melibatkan Komnas HAM.
Sebab, Komnas HAM dinilai memiliki tugas dan fungsi yang sama dan beriringan dengan prinsip kerja RUU tersebut untuk mengedepankan HAM dalam pelaksanaannya.
"Komnas HAM dapat berkerja secara independen dan dapat bekerja sama dengan pengawasan DPR," ujar Choirul.
Kelima, Choirul juga menyoroti kompensasi terhadap korban yang tertuang dalam Bab VI RUU tersebut. Ia mengatakan bahwa akses dan prosedur terhadap korban masih belum jelas dan tidak konsisten.
Ia menyarankan agar kompensasi harusnya cukup dengan penetapan pengadilan, bukan dengan keputusan pengadiian.
"Karena sifat dan karakter dari tindak pidana terorisme itu sendiri, yang memungkinkan pelaku bebas dan atau meninggai dunia," kata dia.
"Perlu segera dirumuskan standar minimum hak korban, khususnya terkait item item kompensasi yang harus diterima oleh korban," tambahnya.
Keenam, Choirul mengapresiasi definisi terorisme dalam draf RUU itu. Ia menyatakan bahwa definisi yang digunakan dalam draft 14 Mei 2018 telah menghilangkan beberapa kata yang penting, yakni 'motif' dan 'politik' sudah tepat.
Sebab, hilangnya kata motif sangat baik bagi penegakan hukum guna mempermudah pemenuhan unsur tindak pidana dan memudahkan proses akuntabilitas.
"Di beberapa kasus 'motif' ini menjadikan penegakan hukum melebar ke berbagai masalah lain dan potensial melanggar hak asasi manusia. Kata politik dihapus juga merupakan proses yang baik, karena mencegah penyalahgunaan kewenangan guna kepentingan politik," pungkasnya.
(arh/sur)