Relevansi dan Batasan Peran TNI dalam UU Terorisme

Martahan Sohuturon | CNN Indonesia
Minggu, 27 Mei 2018 13:23 WIB
Koopssugab TNI diaktifkan kembali untuk membantu penganggulangan terorisme di Indonesia. Aturan dan batasan peran TNI dimatangkan lewat peraturan presiden.
Koopssugab TNI diaktifkan kembali untuk membantu penganggulangan terorisme di Indonesia. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah telah menyepakati keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme. Kesepakatan itu dituangkan dalam revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pelibatan TNI tertuang dalam Pasal 43 I dalam bentuk tiga ayat. Satu menyatakan, "Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang."

Kemudian ayat dua menyatakan, "Dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI."

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara ayat tiga menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres)."

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar, mengatakan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus tetap berpedoman pada UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 7.

Menurutnya, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme merupakan sebuah hal yang dimungkinkan bila terorisme dilihat sebagai sebuah tindakan yang mengancam keutuhan dan pertahanan negara.


Namun, lanjut dia, operasi dalam pemberantasan terorisme yang melibatkan TNI harus didahului dan didasarkan pada perintah Presiden.

"Apapun operasinya tetap harus didahului dan didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara, dalam hal ini perintah Presiden sebagai penerima mandat dari rakyat untuk mengatur negara," kata Abdul kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (26/5).

Dia pun menerangkan, terorisme harus diletakkan sebagai sebuah kejahatan yang harus dibuktikan lewat proses hukum. Artinya, lanjut Abdul, proses hukum hanya dapat dilakukan setelah menemukan perbuatan dan bukti.

"Teror sebagai sebuah kejahatan, pelakunya dilihat sebagai penjahat. Maka responsnya, menempatkan terorisme sebagai kejahatan yang harus dihukum melalui proses hukum," tuturnya.

Abdul pun menilai, TNI tidak perlu dilibatkan dalam penanggulangan terorisme yang berskala kecil atau tidak mengancam negara.

Menurutnya, pemberantasan terorisme harus tetap mengedepankan profesionalitas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dengan menghindari berbagai tindakan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).

"Sepanjang dalam teror yang skalanya tidak mengancam negara, maka keterlibatan militer belum relevan," ujar dia.

Terpisah, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Politik Universitas Padjadjaran Muradi mengingatkan bahwa judul yang disematkan dalam revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 masih mencantumkan kata tindak pidana.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto)


Dengan demikian, menurutnya, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tidak bersifat langsung atau terbatas waktu serta tempat, sesuai dengan kebutuhan.

"Judulnya masih tindak pidana terorisme, berarti TNI tidak terlibat langsung. Artinya, (TNI) tidak terus menerus, dia akan diminta dan tidak otomatis terjun ke lapangan," kata Muradi.

Berbagai tindakan terorisme yang dapat melibatkan peran TNI antara lain terkait pembajakan pesawat terbang, terorisme di perbatasan wilayah Indonesia, atau terorisme berkarakter separatisme seperti yang dilakukan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Operasi Papua Merdeka (OPM).

Di luar insiden terorisme tersebut, lanjutnya, pelibatan TNI sesuai dengan kebutuhan Polri.

"Di luar itu, dia diminta. Yang minta Polri karena undang-undang ini tindak pidana terorisme," tuturnya.

Berangkat dari itu, Muradi menilai, Jokowi harus menuangkan sejumlah poin dalam Perpres yang mengatur tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.

Salah satu poin itu, menuturnya, menegaskan bahwa karakter TNI dalam pemberantasan terorisme ialah kombatan.

Muradi berpendapat, penegasan itu penting agar agar pelibatan TNI tidak bisa dilakukan secara sembarangan dalam pemberantasan terorisme di Indonesia.

Kemudian, dia melanjutkan, Jokowi juga perlua menuangkan batasan keterlibatan TNI dalam pencegahan terorisme, misalnya dalam dua berbagai informasi atau kontra-intelijen.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat berlatih dengan Denjaka TNI AL beberapa waktu lalu. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)


Terkahir, menurut Muradi, Jokowi juga harus membuat aturan terkait mata anggaran yang akan digunakan TNI dalam pemberantasan terorisme, apakah masuk dalam anggaran Polri atau berdiri sendiri.

"Hal-hal tersebut penting dimasukkan dalam Perpres yang diterbitkan nanti," tuturnya.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto Tjahjanto mengatakan aturan spesifik mengenai pelibatan pihaknya dalam pemberantasa terorisme sudah mulai disusun dengan melibatkan perwakilan pemerintah, seperti Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Menurutnya, draf tersebut bakal diserahkan kepada pemerintah sebagai usulan Perpres.

"Peraturan presiden drafnya kami yang bikin ya," kata Hadi, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat.

Dia pun menerangkan draf tersebut disusun dengan mengacu kepada Pasal 7 ayat (2) UU TNI, tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Menurutnya, draf tersebut akan berisi peran TNI dulu sampai hilir, seperti pencegahan, penindakan, hingga pemulihan.

"Jadi, kami melihat kalau sudah ada tanda-tanda mengarah kepada serangan, itu kami sudah mulai bertindak. TNI harus melakukan fungsi itu penangkal, penindak, dan pemulih," ucapnya.

Setelah Perpres rampung, Hadi melanjutkan, posisi TNI tak lagi dalam rangka perbantuan atau bawah komando operasi (BKO) polisi seperti saat ini.

Operasi yang dilakukan TNI akan berada di bawah payung bernama Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab), kelompok pasukan yang anggotanya terdiri dari satuan khusus di tiga matra TNI yakni Dengultor 81 Kopassus TNI AD, Sat Bravo TNI AU, dan Den Jaka TNI AL.

"Kalau seperti ini sudah bisa bergerak sendiri," kata Hadi. (gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER