Jakarta, CNN Indonesia --
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai belum mampu melindungi satwa liar dari tindak kejahatan. Sanksi lebih berat dan rumusan yang lebih lengkap didorong untuk dicantumkan dalam RKUHP demi menghadirkan efek jera.
"Hukuman yang diberikan harus yang bisa memberikan efek jera karena untuk lingkungan hidup apabila sudah menyangkut kejahatan lingkungan hidup itu bukan kejahatan ringan," kata Wenni Adzkia, peneliti dari Indonesian Center of Environmental Law (ICEL), di Jakarta, Rabu (30/5).
Ia menyebut dampak dari kejahatan terhadap satwa liar sangat besar pengaruhnya pada ekosistem alam, termasuk manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), lanjutnya, nilai transaksi dari kejahatan terhadap satwa liar mencapai sekitar Rp13 triliun.
Sementara, ancaman maksimumnya, dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, hanya lima tahun penjara dan denda Rp200 juta.
"Kerugian ekologis dari kejahatan itu tak sebanding dengan ancaman pidana yang tersedia," imbuh Wenni.
Di sisi lain, pengaturan soal kejahatan terhadap satwa liar pada RKUHP sangat sedikit. Mengacu pada draf RKUHP pada 2 Februari, pidana itu hanya diatur pada pasal 367 ayat (1) huruf a dengan ancaman enam bulan penjara dan denda kategori II (Rp50 juta), pasal 369, serta pasal 371 ayat (1) dan ayat (2).
"Dari ketentuan yang ada dalam RKUHP itu, maka kejahatan utama [core crime] satwa liar yang umumnya adalah menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup ataupun mati, belum diatur," tutur dia.
Wenni menambahkan bahwa ketentuan RKUHP itu "tidak melengkapi kelemahan atau keterbatasan norma dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA dan Ekosistemnya, baik dari aspek subyek hukumnya maupun norma pemidanaannya."
Selain itu, kelemahan regulasi yang tersedia masih mengatur tentang subyek hukum orang yang melakukan kejahatan satwa liar sedangkan rumusan kejahatan korporasi terhadap satwa liar masih belum diatur.
"Padahal peluang untuk korporasi melakukan kejahatan satwa liar sangat besar, misalnya kasus punahnya hewan primata di Kalimantan karena dianggap hama di kawasan perkebunan sawit sehingga dibantai habis oleh perusahaan," lanjutnya.
Sebelumnya, Raynaldo G Sembiring, Deputi Direktur ICEL juga sempat mengatakan, revisi ini malah berpotensi melemahkan penegakan hukum Indonesia mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut dia, pemerintah perlu mengkaji ulang isi RKUHP soal pidana lingkungan dengan perbaikan dengan menyesuaikan tindak pidana lingkungan hidup.
"RKUHP ini tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Apalagi, memasukkan syarat unsur 'melawan hukum' di dalamnya," ucapnya.
(arh)