Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan tidak akan menandatangani Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang larangan eks narapidana kasus korupsi untuk mendaftarkan diri sebagai calon legislatif. Menurutnya PKPU itu bertentangan dengan undang-undang.
"Jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan UU. Itu saja," ujar Yasonna di kompleks parlemen, Senin (4/6).
Yasonna pun menginstruksikan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham memanggil KPU untuk menjelaskan alasan penolakannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yasonna menegaskan PKPU itu akan bertentangan dengan UU Pemilu. Dalam Pasal 240 Ayat 1 huruf g disebutkan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana.
"Alasannya itu bertentangan dengan UU, bahkan tidak sejalan dengan keputusan Mahkamah Konsitusi. Kita ini kan sedang membangun sistem ketatanegaraan yang baik. Tujuan yang baik jangan dilakukan dengan cara yang salah," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Yasonna menyebut PKPU tidak berhak mencabut hak seseorang untuk dipilih maupun memilih, selama ketentuan itu tercantum dalam UU. Terlebih, kedudukan UU lebih tinggi daripada peraturan kementerian ataupun lembaga seperti KPU.
"Karena itu bukan kewenangan PKPU. Menghilangkan hak orang itu tidak ada kaitannya dengan PKPU, tidak kewenangan KPU. Yang dapat melakukan itu adalah UU, keputusan hakim, itu saja," kata Yasonna.
Adapun mantan narapidana kasus korupsi dipastikan tidak dapat mendaftar sebagai calon presiden dan calon wakil presiden serta calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu 2019 mendatang.
Namun, untuk pencalonan anggota DPR, masih belum ada kepastian. Hingga saat ini aturan eks koruptor mencalonkan diri sebagai anggota DPR masih menjadi polemik.
(sur)