ANALISIS

Eks Koruptor 'Haram' Nyaleg dan Inkonsistensi Jokowi

SAH | CNN Indonesia
Jumat, 01 Jun 2018 19:29 WIB
Sikap Jokowi menolak aturan larangan eks napi korupsi menjadi caleg dinilai menodai komitmen pemberantasan korupsi dan bisa menggerus elektabilitasnya.
Jokowi mengeluarkan pernyataan yang menyebut eks napi korupsi berhak menjadi caleg. Statmen itu berpotensi bikin citra eks Gubernur DKI tersebut merosot. (CNN Indonesia/Fauzan).
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih bersikeras mengatur larangan mantan koruptor mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg). Aturan yang bakal dituang dalam peraturan KPU tersebut menimbulkan pro-kontra di berbagai kalangan.

Sebagian pihak termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla setuju akan aturan tersebut. Aturan ini diyakini JK akan efektif mencegah tindak pidana korupsi.

Namun sebaliknya, Presiden Joko Widodo justru mengeluarkan pernyataan yang berlawanan. Dia bilang mantan narapidana kasus korupsi berhak untuk mencalonkan diri sebagai caleg.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Itu hak ya. Itu konstitusi memberikan hak," kata Jokowi di Kampus Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA (UHAMKA) Ciracas, Jakarta Timur, seperti dikutip dari Antara, Selasa (29/5).

Selain Jokowi, langkah KPU tersebut juga ditentang dan mendapat protes dari pemerintah, Bawaslu, dan DPR. Ketiga pihak itu menilai aturan dalam PKPU tersebut tak punya landasan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai pernyataan Jokowi yang terkesan membolehkan tersebut tidak konsisten dengan janjinya untuk memberantas korupsi.

Jokowi dalam Nawacita keempatnya menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

Menurut Ubed sikap Jokowi atas rencana KPU tersebut menunjukkan hilangnya komitmen mantan Wali Kota Solo itu dalam memberantas korupsi. Jokowi dia sebut telah melawan rasionalitas publik dengan sikapnya terhadap aturan KPU tersebut.

"Aneh sikap Jokowi dalam kasus ini dia melawan rasionalitas publik," ucap dia saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (30/5).

Ubed menilai KPU ingin mencoba menangkap rasionalitas publik dengan melarang koruptor untuk menjadi caleg. Justru sikap Jokowi malah berlawanan dengan hal tersebut. Ubed mengaku menyayangkan sikap mantan Gubernur DKI tersebut.

"Nampaknya terjadi pergeseran sikap Jokowi ini. Jadi komitmennya dipertanyakan," terang Ubed.

Padahal, kata Ubed, sebagai seorang negarawan dan presiden, Jokowi bisa mengatakan hal lain selain pernyataannya yang terkesan berlawanan dengan KPU tersebut. Misalnya, Jokowi mungkin bisa mengapresiasi langkah KPU yang mencoba membuat larangan eks koruptor untuk menjadi caleg.

"Sampaikan saja gitu kepada publik kalau pelarangan koruptor untuk nyaleg itu untuk membangun marwah demokrasi, kan, enak," terang dia.

Senada, pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai pernyataan Jokowi tersebut justru membuat rakyat bingung akan sikapnya dalam pemberantasan korupsi. Mengingat Jokowi di mata masyarakat adalah salah satu tokoh yang erat kaitannya dalam pemberantasan korupsi.

Jokowi seharusnya bisa mengeluarkan pernyataan yang menguatkan KPU. Harusnya sikap Jokowi lebih berani, seperti halnya dalam pemberantasan terorisme kemarin.

"Sebetulnya Jokowi hanya mengikuti undang-undang saja, sangat disayangkan tapi. Seharusnya dia bisa mengeluarkan statement untuk mendukung KPU, kan," terangnya.

Berbeda dengan Hendri dan Ubed, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai pernyataan Jokowi itu hanya ingin menegaskan bahwa proses pendaftaran caleg harus sesuai dengan Undang-undang Pemilu.

Eks Koruptor 'Haram' Nyaleg dan Inkosistensi JokowiKetua KPU Arief Budiman mengatakan, isi draf PKPU itu tak ada yang berubah, salah satunya tetap memasukan aturan pelarangan eks koruptor nyaleg. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho).
Dia mengatakan, justru rencana KPU untuk melarang eks narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai caleg tidak ada landasan hukumnya. Menurut Adi Jokowi ingin KPU agar tidak mengeluarkan peraturan atau keputusan yang tidak memiliki dasar hukum.

"Pak Jokowi sepertinya melihat bahwa KPU ini jangan sampai mengeluarkan keputusan yang tidak punya dasar hukum. Makanya kemudian Jokowi melihat jangan sampai melanggar peraturan," terang dia

Dampak Politik

Lebih jauh Ubed berpendapat pernyataan Jokowi tersebut dapat berdampak secara politik ke depannya. Menurut dia pernyataan Jokowi yang terkesan berseberangan dengan KPU itu dapat memberikan citra negatif kepadanya. Apalagi dengan kondisi saat ini di tengah-tengah tahun politik.

Menurut dia, citra negatif tersebut bisa membuat keterpilihan atau elektabilitas Jokowi merosot drastis.

"Citra negatif itu membuat masyarakat memiliki keengganan untuk menjatuhkan pilihan pada Jokowi, kemudian itu juga menunjukkan bahwa Jokowi sudah berubah, terjadi pergeseran sikap ya," terangnya.

Ubed memprediksi elektabilitas Jokowi akan turun apabila dia tidak bisa membalikkan dampak negatif dari pernyataannya tersebut. Kalau Jokowi gagal dalam hal ini, menurut dia, maka akan sulit untuk mengerek kembali elektabilitasnya.

Seperti diketahui di beberapa survei elektabilitas Jokowi memang masih mengungguli calon presiden lain. Lembaga Survei Indonesia, misalnya menyebut elektabilitas Jokowi mencapai 46 persen.

Akan tetapi elektabilitas itu berpotensi turun terus dengan citra negatif tersebut.

"Citra negatif punya sumbangan terhadap elektabilitas sekitar lima persen, jadi dia kurang lebih lima persen memberi pengaruh. Tapi kalau Jokowi mampu membalikkan citra itu, tidak terjadi lagi," terangnya.

Lebih lanjut, Ubed menilai pernyataan Jokowi tersebut pun dapat dijadikan amunisi bagi pihak oposisi untuk menyerang.

"Berbahaya lah dia sampai mengeluarkan pernyataan ini. Ini bisa jadi celah-celah oposisi untuk menyerang Jokowi dengan pernyataan yang kontraproduktif ini," ucap Ubed. (osc/wis)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER