Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua DPR, Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan berencana mengundang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke DPR, guna membahas revisi Undang-Undang KUHP (RKUHP). Ia mengatakan hal itu dilakukan buat menyerap aspirasi masyarakat, terkait polemik RKUHP, sebelum disahkan oleh DPR pada 17 Agustus mendatang.
"Sedang kami tampung, kita cari waktu bertemu dengan seluruh
stakeholder, dengan Kejaksaan, Polri, KPK dan kehakiman, kita akan ketemu membahas ini," kata Bamsoet di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa (5/6).
Meski begitu, Bamsoet enggan mengatakan kapan hal itu akan dilakukan. Ia hanya menyatakan menyambut baik kritik dan masukan dari masyarakat terhadap pembahasan RKUHP. Baginya, semakin banyak aspirasi atau masukan kepada DPR soal RKUHP maka hasilnya akan semakin baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semakin banyak masukan makin baik. Jadi kita dorong Panja pemerintah dan Panja DPR untuk membahas itu sesuai kebutuhan," ucap Bamsoet.
Selain itu, Bamsoet menegaskan DPR tidak bermaksud memperlemah kewenangan KPK ubtuk memberantas korupsi melalui RKUHP. Dia justru menegaskan sebaliknya DPR ingin memperkuat KPK dalam RUKHP.
"Terkait itu tidak ada sedikit pun upaya DPR untuk melemahkan. Justru kita ingin menguatkan KPK dalam hal pemberantasan korupsi," katanya.
Sebelumnya, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah berpendapat Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang digodok DPR berdampak pada sanksi pidana yang lebih rendah bagi para koruptor ketimbang yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi.
"Sanksi pidana untuk koruptor justru lebih rendah di RKUHP tersebut dibanding UU Tipikor saat ini. Ini sangat mengganggu kerja penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi," kata Febri dalam keterangan tertulisnya akhir Mei lalu.
Selain itu, Febri menilai RKUHP tidak mencantumkan satu pasal pun yang menegaskan KPK sebagai lembaga khusus yang berwenang menangani kasus korupsi.
Ia mengatakan hal ini sangat berisiko bagi KPK dan lembaga negara lainnya, karena dapat kehilangan kewenangan untuk menangani kejahatan yang berstatus luar biasa.
(ayp)