Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta tidak memaksakan keinginannya untuk mengeluarkan pasal tindak pidana korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Alih-alih menginginkan pasal itu keluar, KPK diminta memberi masukan alternatif sebagai solusi terhadap kekhawatiran hilangnya kewenangan pemberantasan korupsi akibat masuknya pasal tersebut.
"Tidak hanya kami (KPK) minta dikeluarkan, tapi diberi alternatif kedua. Misal, kalau mau dimasukkan, kami minta di pasal peralihan atau pasal penutup untuk menjamin agar kewenangan kami (KPK) tidak hilang," ujar Anggota Panja RKUHP Arsul Sani di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (5/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Arsul pasal tindak pidana korupsi dalam RKUHP tidak akan mengurangi kewenangan KPK dalam memberantas korupsi. Sebab, panja kata dia, sudah merumuskan pasal peralihan tindak pidana khusus.
"Dalam hal ini KPK dalam tindak pidana korupsi, dalam tindak pidana narkotika BNN untuk melaksanakan tugas-tugas penegakan hukumnya seusai dengan kewenangan yang diberikan oleh UU," ujar Arsul.
Lebih lanjut, Arsul mengatakan karena RKUHP bersifat kodifikasi terbuka UU sektoral seperti UU Tipikor akan tetap berlaku.
Selain itu, Arsul menepis anggapan bahwa besaran hukuman dan denda di RKUHP bakal lebih ringan di RKUHP. Menurutnya saat ini RKUHP dirancang menata ulang kebijakan hukum pidana.
Sebab lanjut Arsul, selama ini terdapat salah kaprah dalam perumusan ancaman pidana sampai 20 tahun dalam UU. Padahal kata dia, pidana penjara maksimal itu 15 tahun namun dapat diperberat sepertiga menjadi 20 tahun.
"Tidak jelas apakah itu sudah ada pemberatan atau tidak, tapi langsung menetapkan ancaman pidana penjara sampai 20 tahun. Ini
kan salah kaprah.
Nah, RKUHP yang sekarang ini ingin meluruskan itu," ujar Arsul.
Dengan demikian, kata Arsul, penataan ulang ancaman maksimal pidana penjara, berlaku untuk semua jenis tindak pidana. Tidak hanya tindak pidana korupsi.
"
Ya terorisme, pelanggaran HAM berat, narkotika, itu ada penataan ulang. Tapi itu juga tidak berarti memperlemah semangat pemberantasan korupsi," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menyebut KPK keberatan dengan sejumlah poin pada RKUHP yang kini tengah di bahas. Salah satunya, poin terkait pengaturan tindakan pidana korupsi.
KPK meminta seluruh tindak pidana korupsi tetap diatur dalam UU khusus di luar KUHP. Lembaga tersebut saat ini bahkan sudah menyampaikan surat penolakan terhadap poin tersebut kepada Pesiden, Ketua Panja RKUHP DPR, dan Kemenkumham.
"Kami memandang, masih terdapat aturan yang beresiko melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi jika sejumlah pasal-pasal tentang tindak pidana korupsi masih dipertahankan di RKUHP tersebut," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam konferensi pers, di gedung KPK, Jakarta, Rabu (30/5).
(age/age)