Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan HAM
Yasonna Laoly disebut tak berwenang menolak pengesahan draf
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang pelarangan eks narapidana kasus korupsi untuk menjadi calon anggota legislatif.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai Kemenkumham tidak memiliki kewenangan untuk menolak pengundangan sebuah aturan seperti PKPU.
"Kewenangan pengundangan harus dilakukan apabila semua dokumen dan naskah sudah dilengkapi. Penolakan Menkumham Yasonna Laoly adalah sesuatu yang tidak berdasar. Apalagi substansi peraturan yang diundangkan adalah tanggungjawab instansi pemrakarsa, yakni KPU," ujarnya, dalam keterangan tertulis, Rabu (6/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, lanjut dia, tak ada satupun pasal dalam perundangan yang secara eksplisit mengatur kewenangan Menteri untuk menolak pengundangan sebuah aturan seperti PKPU.
Perundangan itu antara lain UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perpres 87 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU 12 tahun 2011, dan Permenkumham Nomor 31 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengundangan.
"Menteri Hukum dan HAM harusnya memisahkan kepentingan partai dengan kepentingan pemerintah secara kelembagaan. Selama ini penolakan paling kencang atas PKPU larangan Koruptor Nyaleg berasal dari partai. Namun menjadi aneh ketika Menteri ikut-ikutan menolak," cetus Donal.
 Ketua KPU Arief Budiman saat mengikuti rapat dengan Komisi II DPR, Jakarta, Senin (26/3). ( CNN Indonesia/Andry Novelino) |
ICW justru menilai penolakan ini mengesankan bahwa pemerintah tidak setuju dengan upaya pembangunan demokrasi yang bersih. Padahal, KPU disebutnya telah berupaya menentukan peserta yang berintegritas dan berkualitas dengan cara membatasi akses mantan narapidana kasus korupsi untuk menjadi Caleg.
"Hal ini sebenarnya merupakan tugas partai. Akan tetapi selalu diabaikan karena partai sangat pragmatis dengan kepentingannya," kata dia.
Senada, pakar hukum tata negara dari Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf menyatakan Kemenkumham tidak punya dasar untuk menguji substansi PKPU.
Menurut dia, DPR atau presiden lebih memiliki wewenang untuk menilainya.
"Kalau menurut dia menabrak, seharusnya minta KPU membuka diskusi dengan DPR, bukan Kemenkumham. Menurut UU, harus dikonsultasikan dengan DPR ketika produk hukumnya PKPU atau meminta pada presiden supaya dinilai dulu PKPU, bukan menteri," terang dia, yang merupakan Guru Besar Ilmu Hukum Unpar ini.
Dihubungi terpisah, pakar hukum tata negara dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Khairul Fahmi, menilai bahwa upaya PKPU melarang eks koruptor untuk nyaleg masuk akal dan patut didukung.
 Wakil Ketua Komisi II DPR Mardani Ali Sera (kiri), memimpin rapat dengar pendapat dengan KPU, Bawaslu dan Kemendagri, di Kompleks Parlemen, Jakarta, 2017. ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Namun, langkah tersebut lemah jika diterapkan dalam struktur hukum Indonesia. Sebab, perundangan tidak mendukungnya secara penuh. Misalnya, UU Pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Kita tidak bisa menafikkan bahwa hukum kita tidak berkata demikian," ungkap dia.
Baginya, PKPU ini tidak bisa dijadikan peraturan yang sah dan mengikat apabila Kemenkumham tidak memberikan izin.
Sebagai jalan keluarnya, Khairul menyarankan perubahan UU Pemilu.
"Ya kalau menurut saya amandemen UU-nya karena kalau tidak semangat ideal KPU menjadi lemah di mata hukum," tutup dia.
Berdasarkan UU Pemilu 7 tahun 2017, caleg hanya disyaratkan untuk tidak pernah dipidana 5 tahun atau lebih, kecuali caleg itu sudah selesai menjalani hukuman dan secara terbuka menyatakan pada publik bahwa dia mantan terpidana korupsi atau kasus kriminal serius lainnya.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya juga pernah membatalkan UU Pilkada yang memuat syarat jeda lima tahun bagi eks napi kasus korupsi sebelum mendaftar jadi calon kepala daerah, pada 2015.
(arh/gil)