Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan HAM
Yasonna Laoly membantah pemerintah kalah bernegosiasi dengan DPR dalam proses revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
"Bukan. Mana kalah namanya? Dalam diskusi semua sudah kami ingatkan. Tapi kan injury time betul waktu itu," aku dia, di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Jumat (4/5).
Hal ini disampaikan menyikapi pernyataan akademisi hukum Bivitri Susanti sebagai ahli dalam uji materi UU MD3 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (3/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bivitri menyatakan hasil revisi UU MD3 merupakan kekalahan Pemerintah terhadap DPR karena Presiden Joko Widodo tak menandatangani draf yang disahkan parlemen melalui rapat paripurna DPR.
Jokowi melakukannya karena sejumlah poin UU dipermasalahkan masyarakat akibat potensial mengekang kebebasan berpendapat. Presiden kemudian mempersilakan rakyat mengajukan uji materi UU MD3 ke MK.
Yasonna juga menolak mendikotomikan hasil pembahasan UU MD3 antara DPR bersama Pemerintah sebagai kemenangan atau kekalahan.
"Pokoknya, kita saat itu harus sepakati. Dalam dialog politik kan ada kesepakatan politik dengan DPR. Saat itu sudah kami ingatkan kok, ini pasti diuji, diuji. Tapi mereka bilang, begini, begini begini," ucap politikus PDI Perjuangan ini.
Ketika itu, lanjut Yasonna, kepada DPR ia menyatakan sejumlah ketentuan yang berpotensi dibatalkan MK. Namun, parlemen disebutnya berkeras memasukkan poin-poin itu.
"DPR memang agak keras," ucapnya.
Yasonna tak menyebutkan pasal yang dikatakannya berpotensi dibatalkan MK itu. Dia hanya menyerahkan seluruh proses uji materi kepada MK.
"Kan masyarakat sudah jelas membuat pendapatnya. Kalau nanti kita bilang [berharap dikabulkan], nanti bentrokan lagi dengan DPR. Kami serahkan saja ke MK," tandasnya.
DIketahui sebelumnya bahwa sejumlah pasal UU MD3 hasil revisi ditolak masyarakat. Misalnya, pasal imunitas DPR saat hendak dimintai keterangan oleh aparat dan kewenangan DPR untuk bisa memanggil paksa siapapun melalui kepolisian.
Pasal-pasal itu digugat oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), serta tiga orang warga ke MK, beberapa waktu lalu.
(arh)