Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Staf Presiden Moeldoko berharap perbedaan pendapat di antara Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, serta Kementerian Hukum dan HAM mengenai larangan bekas koruptor jadi calon anggota legislatif segera dituntaskan.
"Saya pikir agar tidak tergantung, segera dituntaskan karena menyangkut masa depan yang bersangkutan. Antara iya dan tidak segera harus ada kepastian," kata Moeldoko di Gedung Bina Graha, Senin (2/7).
Perbedaan pendapat mengemuka di antara penyelenggara pemilihan legislasi (Pileg) dan Kemenkumham. KPU, melalui Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota melarang bekas koruptor mencalonkan diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PKPU itu telah diteken Ketua KPU Arief Budiman dan dikirimkan ke Kemenkumham untuk disahkan. Tetapi, Menkumham Yasonna Laoly menilai aturan itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Sehingga, Yasonna belum mengesahkannya dan menyatakan PKPU belum berlaku meski telah ditandatangani Ketua KPU. Sikap serupa diberikan Bawaslu yang tetap berpegang pada UU Pemilu, mantan napi korupsi masih bisa maju menjadi caleg.
Moeldoko mengatakan KPU merupakan lembaga independen yang mengkaji segala sesuatu sebelum membuat kebijakan. Oleh sebab itu, menurutnya peraturan yang sudah dibuat seharusnya dijalankan.
"Saya pikir ini jadi sebuah kebijakan mandiri. Kalau KPU sudah menentukan seperti itu, maka itu menjadi kiblat bagi semuanya karena pemerintah tidak bisa mendikte, mengintervensi. Kuncinya di situ," ucap mantan Panglima TNI ini.
Menurutnya, para pihak-pihak yang merasa keberatan dengan kebijakan itu bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung sama seperti yang diusulkan KPU.
"Ini sudah dekat. Harus ada kepastian. Proses (uji materi) nanti ya berikutnya," tuturnya.
(gil)