Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengkritisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 yang salah satu poinnya memuat larangan bagi mantan narapindana kasus korupsi maju sebagai calon anggota legislatif. Politikus PKS ini menilai PKPU tersebut keliru.
Ia pun mempertanyakan latar belakang pendidikan para komisioner KPU karena tidak mendengarkan pendapat dari anggota DPR dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menolak peraturan tersebut.
"Ini kok KPU enggak paham, ya. Apa enggak ada sarjana hukumnya itu? Saya dengar Bawaslu juga sudah protes. Karena ini enggak benar. Sudah
website kena
hack, IT enggak ngerti, hukum enggak ngerti. Apa enggak mencemaskan pemilu kalau kaya gini KPU-nya?" tutur Fahri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga menganggap KPU telah bermain politik karena menurutnya, KPU telah merampas hak seseorang untuk dipilih oleh masyarakat.
Lebih lanjut, Fahri mendukung sejumlah pihak di DPR yang ingin menggulirkan hak angket terhadap peraturan tersebut. Fahri setuju DPR harus melakukan investigasi terutama mengenai latar belakang dibuatnya peraturan tersebut.
"Ya kalau ngotot itu bisa juga diinvestigasi. Ada apa, melayani siapa, dia tidak boleh membuat kekacauan dalam hierarki hukum nasional kita. Sebab kalau semua bisa bikin hukum sendiri, nanti saya bikin keputusan sendiri," kata Fahri.
Larangan eks koruptor menjadi caleg tercantum dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf h PKPU nomor 20 tahun 2018.
Beleid pasal itu menyebut bahwa mantan terpidana korupsi tidak dapat mendaftar sebagai bakal calon anggota legislatif.
Aturan tersebut ditolak oleh DPR, Kementerian Hukum dan HAM, dan Bawaslu.
Para pihak yang menolak beralasan larangan eks koruptor menjadi caleg tidak diatur dalam peraturan yang lebih tinggi, yakni UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
(wis)