Jakarta, CNN Indonesia -- Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama (UKP DKAP)
Din Syamsuddin menyinggung penggunaan istilah 'umat Islam' oleh sejumlah kelompok tertentu. Pengklaim sebagai wakil umat itu pun makin santer digunakan jelang Pilpres 2019.
Din meminta tak ada pihak yang asal mengklaim terkait pengatasnamaan umat Islam dalam memperjuangkan kepentingan. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu berpendapat adu klaim dalam arena politik sebenarnya bukan hal yang baru. Namun akan menjadi generalisasi dan reduksionis ketika klaim itu dipakai sembarangan.
Ia pun mencontohkan penggunaan istilah umat Islam dengan realita bangsa Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sekitar 200 juta lebih penduduk muslim yang ada di Indonesia, Din memperkirakan hanya setengah yang bergabung dengan partai politik dan ormas berhaluan Islam. Sementara itu, sekitar 70 juta darinya ia taksir berada di level organisasi berskala nasional.
Din lantas menyatakan sekitar 100 juta muslim yang tak bergabung dalam partai atau ormas Islam itu juga bagian dari umat Islam.
"Jadi ketika ada sekelompok orang yang mengatasnamakan umat Islam, tadi saya berpendapat (memang baik-baik saja) tetapi perlu diketahui itu belum mewakili umat Islam," ujar Din yang mengaku tahu angka-angka itu dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) di mana ia menjabat Ketua Dewan Pembina.
Din mengaku melihat gejala tersebut belakangan ini. Gejala itu bisa menguat ketika pemilu berlangsung.
"Jangan terjebak klaim-klaiman dan akhirnya memecah belah di antara kita," imbuhnya.
Din bahkan menilai muslim yang bekerja di partai atau ormas non-Islam bisa jadi bekerja lebih keras ketimbang mereka yang berada di partai atau ormas Islam. Padahal menurutnya mereka yang ada di sana sedang berdakwah dengan kadar kesulitan yang lebih tinggi.
"Jadi kalau ada yang bergabung di partai-partai lain itu jangan dikira mereka tidak berdakwah. Justru dakwahnya bisa lebih sulit dari ulama, dai, yang berada dikatakanlah di partai Islam atau kelompok yang menyebut dirinya Islam," pungkasnya.
Sebelumnya imbauan mendinginkan suasana panas terkait Pilpres 2019 pun disampaikan dai asal Bandung, Abdullah Gymnastiar saat berdakwah di Masjid Istiqlal, Jakarta, 8 Juli 2018. Pria yang karib dengan sapaan Aa Gym itu menyorot sapa-sapaan sinis yang mendikotomi pendukung capres jelang Pilpres 2019 yakni 'kecebong' dan 'kampret'.
"Allah memuliakan kita menjadi manusia. Jangan memanggil dengan gelaran-gelaran yang buruk," katanya.
Sebutan kecebong dan kampret kerap ditemui di media sosial. Sebutan itu mengidentifikasikan kelompok pendukung politik tertentu.
Menurut Aa Gym, selain dilarang memanggil sesama manusia dengan gelar yang buruk, larangan lainnya adalah tidak boleh mengolok, mengejek, atau meremehkan orang yang berbeda sikap.
Sementara itu di Serang, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banten AM Romly meminta para tokoh dan pemuka agama agar tak turut membuat panas kondisi masyarakat jelang tahun politik.
"Di tengah suhu politik yang semakin memanas, para tokoh agama dan tokoh masyarakat hendaknya dapat mengingatkan dan membimbing masyarakat agar tidak melakukan perbuatan tercela, sehingga merusak kerukunan dan kedamaian," kata Romly di Serang, Banten, Selasa (10/7) seperti dikutip dari
Antara.
Romly mengatakan, diantara perbuatan tercela sehingga merusak kerukunan dan kedamaian saat ini seperti penyebaran berita palsu, kabar bohong (hoaks) fitnah, ujaran kebencian, adu domba saling hujat dan perseteruan.
(kid)