Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur
sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Pemerataan pendidikan, menjadi salah satu alasan Mendikbud Muhadjir Effendy menerbitkan aturan itu.
Ia ingin menghilangkan stigma sekolah favorit dan tidak favorit. Ia juga ingin menyebarkan anak-anak pintar di seluruh sekolah-sekolah sehingga terjadi pemerataan pendidikan.
"Anak pintar itu penting di semua sekolah, di samping bisa mengembangkan diri lebih leluasa juga mengatrol teman-temannya yang masih tertinggal secara akademik. Bagus sekali dalam membangun rasa kesetiakawanan," ujar Muhadjir seperti dikutip dari Antara, Selasa (10/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Upaya ini disambut beragam masyarakat, ada yang pro, ada yang kontra. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMP Negeri 23 Kota Tangerang Salim Yahya mengaku senang dengan sistem zonasi ini.
Menurut dia sistem ini akan sangat baik untuk meningkatkan kualitas sekolah-sekolah di pinggiran. Stigma sekolah favorit dan tidak, kata dia, pun akan hilang berkat beleid baru ini.
"Dengan sistem zona malah kita kebagian semua murid pintar, kita dapat yang bawah juga," ujar Salim kepada CNNIndonesia.com, di SMPN 23 Tangerang, Rabu (11/7).
Potensi praktik-praktik 'jalur belakang' untuk masuk sekolah pun dinilai Salim dapat berkurang dengan berlakunya aturan baru ini. Perangkat sekolah tidak bisa lagi memasukan murid ke satu sekolah dengan menerima imbalan berupa uang atau barang.
"Kalau sekarang kan Alhamdulillah, semua siswa sudah masuk di dalam sistem, seleksinya jujur transparan dan akuntabel," terang dia.
Senada, salah seorang orang tua murid Surwana (44) mengatakan sistem baru ini memberikan kesempatan kepada siswa yang bertempat tinggal di dekat sekolah negeri untuk diterima.
Hal ini, menurut dia dapat berimplikasi lebih jauh kepada pengurangan kemacetan lalu lintas. Menurut pria yang akrab disapa Iwan ini siswa tidak perlu membawa kendaraan apabila hendak pergi ke sekolah.
"Kalau dekat kan mengurangi kemacetan juga, kalau jauh-jauh juga kan transportasinya lumayan lah, sistem ini bagus," ujar pria yang sering dipanggil Iwan ini.
 Sistem zonasi PPDB 2018 berujung kisruh di berbagai daerah. Dalih pemerataan pendidikan ternyata tak diimbangi dengan pesebaran sekolah negeri. (CNN Indonesia/Huyogo Simbolon). |
Tak Diimbangi Pemerataan Sekolah NegeriMeski dinilai bagus, sistem zonasi ini dinilai beberapa pihak tidak sebanding dengan persebaran sekolah yang belum merata.
Sebagai contoh, di Kota Tangerang untuk level SMP terbagi dalam tiga zonasi. Sekolah-sekolah dibagi dalam tiga wilayah administrasi berdasarkan kelompok kecamatan yang berdekatan.
Pembagian sekolah di setiap zonasi itu pun tidak merata. Di zona 1 yang melingkupi kecamatan Ciledug, Larangan, Karang Tengah, dan Pinang hanya terdapat enam sekolah. Sementara di zona dua yang melingkupi lima kecamatan terdapat 15 SMP.
Hal itu, menurut salah satu staf Tata Usaha SMP 23 sekaligus Ketua RW 05 Kelurahan Panunggangan Utara, Ace, membuat persebaran peserta didik tidak merata.
"Di kecamatan Pinang itu cuma ada satu SMP, SMP 23 saja, makanya pada numpuk ke sini. Sementara di Kecamatan Tangerang ada delapan sekolah," terang dia.
Menurut dia apabila fasilitas pendidikan ditambah di kecamatan yang kekurangan, penumpukan calon peserta didik bisa terurai.
Hal senada diungkapkan Karma Yogi Pertimi (65) salah satu wali murid. Di tempatnya tinggal di daerah Kunciran, tidak terdapat SMP Negeri, ditambah lagi keluarganya sampai kini tercatat sebagai warga Jakarta, bukan Banten.
Apabila ingin mengikuti sistem zonasi ia harus mendaftarkan cucunya di SMP di daerah Kembangan, Jakarta Barat sesuai alamat domisili di KTP. Itu pun jaraknya relatif jauh dari rumahnya.
"Di dekat rumah di Kunciran itu enggak ada sekolah negeri paling SMP Swasta ,makanya saya daftarin cucu saya di SMP 23 yang lebih dekat sebagai pendaftar luar kota," ujar dia.
Sependapat, meski anaknya diterima di SMPN 23, Suwarna mengakui kurang meratanya fasilitas pendidikan bakal membuat masyarakat kesusahan dengan sistem zonasi ini.
Pasalnya, dari jumlah keseluruhan siswa yang diterima, minimal sekolah menerima 90 persen calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Sisanya, sebanyak lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial.
"Kalau sekolahnya banyak mungkin kita bisa banyak pilihan, kelemahannya mungkin itu saja sih, kalau yang kondisi sekolahnya cuma ada saru kesulitan juga daya tampungnya terbatas untuk yang di luar zona enggak kebagian," ujar dia.
(osc)