Jakarta, CNN Indonesia -- Heriyanto, kuasa hukum Nugroho Prasetyo pemohon uji materi terkait
ambang batas pencalonan presiden atau
presidential treshold menyebut pembuat undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah, telah mengabaikan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam merumuskan aturan terkait pencalonan presiden.
Aturan itu tertuang di Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Di dalamnya disebutkan bahwa partai politik harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional, untuk bisa mengusung calon presiden.
"Sepertinya pembentuk undang-undang sudah lupa bahwa UUD 1945 telah memberikan cara alami dan konstitusional," Kata Heriyanto dalam sidang perbaikan permohonan uji materi dengan nomor perkara 50/PUU-XVI/2018 di Mahkamah konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (18/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan, Pasal 6a ayat 2 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa capres dan cawapres diajukan oleh parpol peserta pemilu. Kemudian, meskipun dalam Pasal 6a ayat 5 menyebut bahwa tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakilnya diatur lebih lanjut dalam undang-undang, tetapi tidak disebutkan batas maksimal parpol yang boleh mengajukan pasangan capres dan cawapres.
Jikapun alasannya supaya tidak banyak pasangan calon yang kemudian mempersulit masyarakat dalam memilih, menurut Heriyanto, maka hal ini juga tidak tepat. Karena, hal itu sudah diantisipasi dengan mekanisme dua putaran jika masing-masing pasangan calon tidak memenuhi jumlah perolehan suara yang telah ditentukan.
"Sehingga pembuat undang-undang tidak perlu memaksakan dan menghalangi kesempatan parpol peserta pemilu. Karena hal ini sudah menjadi hak konstitusional dan dijamin dalam UUD 1945," kata Heriyanto.
Dinilai Bertentangan dengan UUDHal senada diungkapkan Direktur Eksekutif lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) selaku salah satu pihak dari pemohon uji materi nomor 49/PUU-XVI/2018.
Menurut dia, aturan terkait ambang batas tersebut menghilangkan potensi munculnya calon alternatif. Jika pun calon yang muncul terbilang banyak maka sudah diantisipasi dengan sistem dua putaran.
Ambang batas pencalonan presiden dalam Pasal 222 UU Pemilu, kata Titi, bertentangan dengan Pasal 6a ayat 3 dan ayat 4 UUD 1945.
Melihat waktu pencalonan presiden dan wakil presiden semakin dekat, Titi menyampaikan, pihaknya meminta hakim MK segera menyidangkan dan memutus perkara ini.
"Sekiranya bisa diproses dengan cepat sehubungan dengan pencalonan presiden tanggal 4 sampai 10 Agustus. Kami berharap MK bisa memprioritaskan perkara ini," kata Titi.
Menanggapi hal itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan akan menyampaikan permohonan pemohon kepada seluruh hakim konstitusi dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH). Rapat ini rutin dilakukan sebagai wadah diskusi para hakim dalam mengupas perkara yang sedang ditangani.
"RPH-lah yang nanti akan menantukan permohonan ini," kata Saldi.
Aturan mengenai ambang batas dalam UU Pemilu sudah diuji ke MK oleh sejumlah pihak. Salah satunya Partai Idaman yang dipimpin oleh Rhoma Irama. Namun, MK menyatakan menolak permohonan para pemohon tersebut.
Dengan demikian, aturan bahwa partai politik harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung calon presiden masih berlaku hingga saat ini.
(osc)