Gugatan Masa Jabatan Wapres, Muslihat dan Regenerasi Pemimpin

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Sabtu, 21 Jul 2018 20:57 WIB
Gugatan masa jabatan wakil presiden dianggap membahayakan arah politik dalam negeri Indonesia jika dikabulkan, dan merusak regenerasi kepemimpinan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik gugatan pembatasan masa jabatan wakil presiden kembali menghangat setelah Jusuf Kalla mengajukan diri sebagai pihak terkait, dalam gugatan Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah itu menimbulkan perdebatan soal ambisi politik JK serta mempertanyakan kemampuan partai politik menyediakan kader-kader berkualitas untuk regenerasi kepemimpinan.

Kuasa hukum JK Irman Putrasiddin menyebut pembatasan masa jabatan dalam pasal 169 huruf n UU Pemilu sejatinya muncul pasca lengsernya Presiden Soeharto. Sontak hal tersebut menuai pro dan kontra. Ini lantaran JK telah menjabat wakil presiden selama dua periode meski waktunya tak berurutan. Yakni, antara 2004 hingga 2009 dan 2014 hingga 2019.

Pakar politik Universitas Paramadina Djayadi Hanan menyatakan masa jabatan presiden dan wakil presiden memang dibatasi hanya dua kali. Jika gugatan itu dikabulkan, menurut Djayadi dunia politik Indonesia dalam bahaya. Menurut dia hal ini tidak sesuai dengan semangat amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya tanya ahli hukum, bahwa niat awal pembatasan jabatan ini adalah tak boleh ada satu pihak yang berkuasa lebih dari sepuluh tahun. Peraturan ini kan logis, sudah tertera dengan jelas," kata Djayadi kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (21/7).
Djayadi mengatakan, UUD 1945 sudah jelas menyebut bahwa presiden dan wakil presiden tak boleh menjabat selama dua kali, baik itu berturut-turut maupun tidak. Dia merasa pihak yang mengajukan gugatan itu seolah ingin mengembalikan budaya otoriter rezim Orde Baru.

"Yang saya lihat adalah segelintir pihak yang ingin jabatannya tidak dibatasi sehingga mencari akal-akalan semata," ujar Djayadi.

Karena gugatan sudah didaftarkan ke MK, Djayadi berharap supaya tidak langsung diloloskan dan diperkarakan. Apalagi sampai terhasut dengan tekanan politik atas gugatan ini.

"Dan harusnya ahli konstitusi paham bahwa dua periode itu adalah satu tambah satu. Kalau ini diloloskan, tentu tak sejalan dengan konstitusi," jelas dia.
Di sisi lain, pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro beranggapan sebenarnya tidak ada krisis kader partai politik, yang membuat wajah-wajah politikus lama dan uzur tetap berebut kekuasaan. Sebab menurut dia ternyata banyak sosok baru meramaikan jagat perpolitikan tanah air menjelang pemilihan presiden 2019.

Hanya menurut Siti yang menjadi pertanyaan adalah alasan JK yang getol seolah ingin tetap berada di lingkaran kekuasaan dengan mengajukan gugatan itu. Padahal dengan pengalamannya menjabat dua kali wakil presiden, menurut dia semestinya JK harus berani mengajukan diri sebagai calon presiden.

"Masalahnya, kenapa seperti terantuk ke calon tertentu yang sudah dua kali menjabat. Kalau pun mau ikut kontestasi harusnya naik saja jadi calon presiden," kata Siti.

Kendati demikian, Siti tak memungkiri sistem pengkaderan di partai politik perlu dibenahi, utamanya mengenai promosi kader. Beberapa partai, lanjut dia, masih mengikuti sistem komando yang konservatif, di mana seruan ketua partai harus diikuti oleh kader-kadernya.
Sistem seperti itu, kata Siti, tidak sehat karena seharusnya setiap kader punya hak yang sama untuk diusung. Jika dibiarkan maka proses demokrasi tak berjalan secara transparan dan akuntabel. Sehingga tak heran jika calon pemimpin yang diusung sebuah partai adalah sosok yang sama berulang kali.

"Ini yang harus menjadi review tersendiri di internal partai. Rekrutmen kader memang harus dilakukan dengan tanggung jawab yang besar," tambah Siti.

Terlepas dari itu, Siti meyakini gugatan soal masa jabatan cawapres tak bakal dikabulkan oleh MK. Sebab, sebelumnya MK juga telah menolak uji materiil terkait.
"Aturan ini kan harusnya sudah final, sudah legal binding. Masa judicial review lagi? Kan sebelumnya ini sudah pernah dilakukan uji materiil. Jangan sampai pemilu 2019 yang rumit harus batal demi hukum, karena tahapan yang diikuti dan berlangsung tidak mengikuti aturan yang ada. Semua bermain di sumbu pendek," katanya. (ayp)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER