Jakarta, CNN Indonesia -- Petambak udang PT Dipasena Citra Darmadja (DCD), Towilun, merasa diperlakukan seperti 'sapi perah' dalam perjanjian kerja sama kredit antara petambak dengan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Hal ini disampaikan dalam sidang kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas Badan Likuiditas Bank Indonesia (
SKL BLBI).
Hal ini disampaikan seorang petambak, Towilun, saat bersaksi dalam sidang dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (26/7). Towilun merasa dijebak oleh BDNI dengan skema bagi hasil tidak jelas dan malah ditekan ketika menanyakan soal itu.
Dalam perjanjian yang diteken pada 1995, Towilung mengatakan para petambak dijanjikan diberi kredit sebesar Rp135 juta. Jumlah itu dibagi sebesar Rp90 juta untuk investasi rumah tambak dan kincir sementara Rp45 juta sisanya untuk biaya pakan, bibit, modal kerja, dan rumah dengan dinding asbes berukuran 5x7 meter.
Dalam prosesnya, para petambak tak diberi penjelasan rinci terkait proses mengangsur dan kompensasi yang akan diterima.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya kami berpikir itu yang ngatur duitnya perusahaan, jadi ya pakai udang itu untuk bayar. Tapi tidak ada penjelasannya. Itu perjanjian kredit kami hanya suruh duduk, pegang pena, kemudian kasih paraf, paraf, paraf, setelah itu sudah. Tidak tahu isinya," ujar Towilun.
Dalam perjanjian itu, kata Towilun, hanya dijelaskan para petambak diberi waktu pelunasan dengan tenor enam hingga delapan tahun. Jika telah lunas, para petambak akan diberikan sertifikat hak milik.
Faktanya, lanjut Towilun, para petambak kemudian ditempatkan di satu lot tambak isi dua petak berukuran 40 x 40 meter, kincir, rumah, dan perlengkapan budidaya. Mereka juga memperoleh bibit udang, pakan, dan obat-obatan.
"Tugas saya besarin udang lalu dipanen dan diserahkan ke perusahaan. Tapi kami tidak terima duit, hanya terima lembaran kertas. Padahal punya saya penjualannya (bisa sampai) Rp180 juta, tapi kami diberi lebih rendah, bahkan tidak ada 50 persennya dari standar nasional," katanya.
Towilun juga mengaku diintimidasi jika menanyakan lebih lanjut persoalan kredit itu kepada pihak perusahaan.
"Tiap petambak yang bertanya bukan diberi jawaban tapi malah diintimidasi, 'bapak masih betah di sini apa tidak, kalau tidak pergi dari sini saja'," tuturnya.
Towilun bersama rekan petambak lainnya pun sempat melakukan unjuk rasa di kantor Bappenas pada 1999 untuk menyampaikan sejumlah tuntutan. Menurutnya, kerja sama yang dijalin dengan perusahaan maupun BDNI tak lagi menguntungkan.
"Kerja sama kami ini tidak baik lagi karena kami seperti sapi perah atau bebek petelur," ucap Towilun.
Ia saat itu sempat bertemu dengan Syafruddin dan menyampaikan sejumlah tuntutan di antaranya meminta agar DCD diambil alih pemerintah, meminta agar ada pemilahan aset antara perusahaan dengan petambak, transparansi manajemen soal pemberian sertifikat, pemutihan utang, dan revisi pola kemitraan.
"Pak Syafruddin saat itu merasa prihatin dan mengatakan Insya Allah akan membantu," katanya.
Towilun mengaku tak tahu saat akhirnya BDNI tutup dan mengalihkan hak tagih kepada petambak. Pada 2011, lanjutnya, para petambak itu akhirnya membubarkan diri dan melakukan usaha tambak secara mandiri.
"Karena kami selalu ditindas, dan sekarang kami mandiri. Alhamdulillah bisa hidup. Petambak tidak punya utang, justru punya piutang ke perusahaan. Jadi tolonglah petambak jangan di-bully terus, sudah korban, kami punya utang di mana," ucap Towilun.
Dalam perkara ini, KPK baru menetapkan Syafruddin sebagai tersangka dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul. Syafruddin diduga merugikan negara hingga Rp4,58 triliun.
(ayp/sur)