Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
Mahfud MD menduga bahwa dorongan pembentukan negara Islam terkait dengan keinginan mendapat kue kekuasaan. Jika sudah berkuasa, dorongan itu pun memudar.
"Jadi orang yang
sok-sokan memperjuangkan ingin ganti Pancasila [dengan negara Islam] karena [mereka] enggak kebagian [kekuasaan] aja pak, enggak dapat," ujar Mahfud saat menghadiri diskusi Vox Point, Pasar Baru, Jakarta Pusat, Selasa (31/7).
Mahfud, yang juga Mantan Ketua Mahkamah Konsutitusi (MK) ini, mencontohkannya dengan manuver mantan pengacara pimpinan FPI Rizieq Shihab, Kapitra Ampera, yang menjadi bakal calon anggota legislatif dari PDIP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengenal Kapitra sebagai sosok pejuang pro-pembentukan negara Islam.
"Ini yang sekarang dia daftar dari caleg PDIP sekarang siapa? Orang yang dulunya ingin mendirikan negara Islam. Oh, jadi kalau sudah kebagian ya mau ikut [NKRI]. Itu pengacara 212 [Kapitra] itu mau ikut dia," ujarnya.
 Massa pro HTI di depan PTUN, Jakarta Timur, Senin (7/5). ( CNN Indonesia/Ramadhan Rizki Saputra) |
Selain itu, Mahfud juga menyebut soal eks Menteri yang sebelumnya adalah orang yang sangat vokal dan pro-pendirian negara Islam di awal-awal reformasi.
Ketika Megawati berkuasa, orang tersebut diajak masuk kekuasaan sebagai Menteri. Tiba-tiba, lanjutnya, pejabat itu berubah haluan menjadi pendukung pemerintah dan NKRI.
"Banyak tuh dulu oknum yang ingin mendirikan negara Islam. Ada diangkat dia jadi menteri tuh," ungkapnya.
"Zaman Pak Taufiq Kiemas [mendiang suami Megawati] tuh dulu dia bilang ke ini Menteri, 'sudahlah, kamu jangan keras-keras bilang gitu [soal negara Islam]'. Terus pas jadi Menteri, pidato pertamanya, 'NKRI dan Pancasila itu final'. Padahal dulu [menganggap NKRI dan pancasila] enggak final," imbuh Mahfud.
Menurut dia, pergantian ideologi Pancasila dengan ideologi apapun sebagai dasar negara tak masalah karena Indonesia menganut paham demokrasi.
Syaratnya, kelompok atau oknum yang ingin mengganti dasar negara itu dapat menempuh melalui jalur resmi yang telah diatur oleh konstitusi.
 Para pendukung khilafah berdemo di depan kedubes AS, Jakarta, 9 Agustus 2008. ( AFP PHOTO / ADEK BERRY) |
Salah satunya, dengan mendirikan partai politik dan memenangkan pemilihan umum sebagai saluran yang resmi untuk mengubahnya melalui mekanisme yang sah.
"Tapi kalau enggak bikin partai, enggak ikut pemilu, lalu bikin gerakan di bawah tanah, makar namanya, kalau makar jika bentuknya organisasi ya harus dibubarkan, kalau sesuai pidana ya ditangkap," kata Mahfud.
Diketahui, ada sejumlah organisasi yang resmi dilarang oleh pengadilan karena terkait dengan misi mendirikan negara Islam. Misalnya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jamaah Anshor Daulah.
(arh/gil)