Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mempertanyakan komitmen Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan
Wiranto dalam menyelesaikan kasus
pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu. Sebab menurut mereka, Wiranto justru merupakan salah satu pihak yang diduga terlibat dalam pelanggaran itu.
"Itu yang jadi soal. Bagaimana mungkin suatu kasus bisa terselesaikan dengan cukup optimal jika pihak yang mengkoordinasikan proses penyelesaian itu adalah dia yang diduga sebagai salah satu yang terlibat di dalam kasus kemanusiaan berat yang akan diselesaikan itu," kata Peneliti di ELSAM Wahyudi Djafar saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, usai diskusi di Hotel Aloft, Jakarta Pusat, Selasa (31/7).
Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengaitkan Wiranto dengan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wiranto disebut-sebut dalam laporan PBB soal dugaan pelanggaran HAM di Timor Leste, serta peristiwa penyerangan kantor PDI, 27 Juli 1996, atau dikenal dengan Peristiwa Kudatuli.
Menurut Wahyudi, Presiden Joko Widodo sendiri seharusnya yang memimpin penyelesaian kasus-kasus tersebut. Sebab, janji penyelesaian kasus itu dilontarkan oleh Jokowi, bukan Menkopolhukam.
"Pilihannya itu hanya presiden harus mengambil kepemimpinan politik. Yang punya janji kan presiden, ya akan lebih jika presiden yang mengambil kepemimpinan politik dalam agenda penyelesaian kasus pelanggar HAM berat itu di masa lalu," kata dia.
Presiden Jokowi sendiri dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) berjanji membentuk lembaga tambahan (ad hoc) kepresidenan untuk penyelesaian kasus kemanusiaan di masa lalu. Namun, sayangnya kepanitiaan tersebut belum juga terbentuk tahun keempar kepemimpinannya.
Di sisi lain, ELSAM melihat Wiranto sangat getol dalam persoalan penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Wiranto sampai membentuk tim terpadu yang akan membedah satu persatu dari setiap dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
 Peserta aksi unjuk rasa Kamisan mengenakan jaket bergambar wajah mendiang koordinator KontraS, Munir. Kasus pembunuhan Munir belum terungkap hingga kini. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Tak hanya itu, Wiranto juga menugaskan tim itu untuk menyelidiki faktor penghambat mengapa kasus-kasus tersebut tak terselesaikan.
"Justru kesannya kan Menkopolhukam ini yang lebih maju, tapi keputusan yang ditawarkan malah justru menuai perdebatan di publik," kata Wahyudi.
Keputusan yang dimaksud adalah pilihan Wiranto dengan memilih jalur non yudisial dalam penyelesaian kasus HAM. Dia berharap perkara itu tidak harus masuk ke pengadilan. Menurut Wahyudi seharusnya pemerintah tak melakukan jalur penyelesaian kasus HAM dengan cara seperti itu.
Wahyudi mengatakan sebagian kasus masih memungkinkan untuk diselesaikan di jalur pengadilan. Korban juga menghendaki pengungkapan kebenaran dalam konteks untuk mengetahui kasusnya. Korban juga berhak mendapatkan pemulihan dan lain sebagainya.
"Jangan di awal sudah mengkotakkan bahwa kami akan menyelesaikan agenda penyelesaian nonyudisial karena itu seperti menegasikan jalur-jalur lain yang bisa ditempuh untuk penyelesaian," kata dia.
Wahyudi berharap penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dilakukan dengan dua cara. Yakni menempuh pengadilan juga di luar jalur hukum.
"Dua duanya harus tetap dilakukan. Jalur jalur yang lain juga harus ditempuh," lanjutnya.
Lagipula jika langsung dibatasi nonyudisial, Wahyudi menilai indikator penyelesaian masalah menjadi tidak jelas. Sebab hal itu menjadikan penyelesaian kasus HAM terkatung-katung.
"Apa indikator yang digunakan ketika menempuh jalur non yudisial untuk menentukan kasus itu sudah selesai? Apakah ketika orang ketemu salaman
cipika cipiki itu masalah udah selesai gitu kan? Apakah nonyudisial yang dimaksud adalah pengungkapan kebenaran, adanya proses rekonsiliasi? Ini jadi serba tidak jelas," kata Wahyudi.
(ayp/sur)