Jakarta, CNN Indonesia -- Isu pelanggaran
hak asasi manusia diperkirakan masih bisa dijadikan senjata untuk mengunci langkah siapapun, dalam
pemilihan presiden 2019. Bahkan rakyat jelata pun bisa ikut terbawa permainan persoalan hak asasi manusia, jika yang diangkat kejadian-kejadian yang terjadi di seputar mereka seperti penggusuran.
"Saya kira iya (masih akan dimainkan) karena itu isu seksi yang punya dampak terhadap pemilih soal," kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Kuskridho Ambardi, dalam diskusi di Hotel Aloft, Jakarta Pusat, Selasa (31/7).
Pria yang akrab disapa Dodi itu menilai meski porsinya tak akan sebesar isu ekonomi atau politik identitas, tetapi masalah HAM tetap bisa menjadi 'senjata' untuk memojokkan kandidat tertentu.
Dodi mengatakan proporsi dari pemilih yang mementingkan faktor agama dibandingkan ekonomi dan HAM atau moral, saat ini sedang meningkat. Hal itu terbukti setelah Pilkada 2017 di mana politisasi Suku, Agama, Ras, Antaretnis (SARA) terjadi begitu sengit dan berdampak pada pilihan pemilik hak suara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Isu HAM sendiri juga dipakai pada Pilpres 2014, dan dialamatkan pada Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Namun, Dodi menilai Prabowo sepertinya sudah memiliki jawaban untuk tudingan itu dengan menyatakan dia diperintah oleh atasannya saat terjadi pelanggaran HAM pada Peristiwa Mei 1998.
Menurut Dodi, isu HAM tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan menengah dan atas. Sebab jika jeli, masalah-masalah seperti penggusuran, perampasan tanah atau sertifikatnya mungkin bisa dipakai buat 'menghasut' warga jelata dan menyerang petahana.
"Teknis Hak Asasi Manusia misalnya, masyarakat bawah tidak akan mengerti, tetapi kemudian tanahnya direbut, itu akan muncul dan akan beresonansi dengan publik, karena publik itu kan mayoritas penduduk pendidikannya SD sampai SMP mayoritas. Nah kalau itu dalam bahasa tinggi itu kan enggak ngerti jadi kalau mau berkampanye," katanya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Nawacita-nya berjanji mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut. Namun, Dodi menyatakan sampai sekarang tak ada perkembangan yang berarti dalam proses penyelesaiannya.
(ayp/sur)