Jakarta, CNN Indonesia -- Kampanye menjaga
Sungai Citarum dari pencemaran dianggap belum optimal sampai saat ini. Menurut Kemenko Kemaritiman sejumlah pabrik di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Citarum diduga sengaja mengakali instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
"Padahal sidak ada. Setiap hari teman-teman satgas sidak terus. Makanya mereka siang IPAL-nya jalan, malam enggak jalan," kata Deputi IV Kemenko Bidang Kemaritiman Safri Burhanuddin, saat meninjau hulu Sungai Citarum di kawasan Katapang, Bandung, Jawa Barat, Selasa (31/7).
Menurut Safri, ada banyak dalih yang menyebabkan IPAL tidak berfungsi optimal. Beberapa di antaranya alat yang rusak atau pengelola pabrik enggan mengoperasikan IPAL karena menambah biaya produksi.
Menurut Safri, 20 persen IPAL milik sejumlah pabrik di sepanjang Sungai Citarum belum optimal. Pabrik-pabrik itu berada di daerah hulu sungai seperti Bandung Selatan. Oleh sebab itu, Safri meminta kepada Kementerian Perindustrian untuk memetakan kembali industri mana yang belum dan sudah memiliki IPAL yang beroperasi maksimal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau data yang ada, (pabrik) yang punya IPAL 20 persen. Dari industri ada 3 ribuan IPAL, ada dari industri tekstil, industri UKM. 20 persen itu juga tidak optimum," kata Safri yang juga menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pengarah Tim DAS Citarum itu.
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, kata Safri, telah memberikan tenggat tiga bulan bagi para perusahaan atau pabrik untuk membuat IPAL. Tenggat itu terhitung sejak Mei 2018 kemarin.
Jika pabrik tidak melengkapi IPAL hingga Agustus 2018, Luhut tak segan menindak pelanggar melalui Peraturan Presiden nomor 15 tahun 2018. Sanksinya mulai dari administrasi sampai tindakan pidana.
"Agustus itu kita akan cek lagi semuanya karena kan bangun IPAL itu tidak satu-dua hari, butuh waktu. Kalau dia sedang pembangunan, masa kita (cabut izinnya). Yang belum punya IPAL sama sekali adalah target kita," kata Safri.
Permasalahan di daerah hulu Citarum umumnya terkait pembukaan lahan, sedimentasi, banjir, limbah peternakan dan limbah domestik, limbah industri, hingga limbah medis.
Sementara di daerah tengah yaitu sedimentasi, perikanan budidaya keramba apung di tiga waduk, hingga cemaran logam berat.
Kemudian di daerah hilir seperti Jakarta, persoalan meliputi limbah industri, limbah rumah tangga, limbah medis, sedimentasi, dan perusakan mangrove. Padahal, bakau juga berfungsi sebagai tanaman penahan banjir.
Adapun masyarakat pemanfaat Sungai Citarum di Jawa Barat dan Jakarta adalah sebesar 27,5 juta dari total luas DAS 1.132.334 meter persegi. Meski dijuluki sebagai sungai terkotor di dunia, sebanyak 80 persen pasokan air minum Jakarta diambil dari Sungai Citarum.
Selain itu, Sungai Citarum juga mengaliri 420 ribu hektare lahan pertanian.
(ayp/pmg)