Jakarta, CNN Indonesia -- Pemilihan calon presiden dan wakil presiden pada
Pemilu 2019 dikhawatirkan hanya akan menitikberatkan pada kepentingan kelompok kecil penguasa. Mahkamah Konstitusi diminta membatalkan aturan di UU Pemilu itu.
Hal tersebut dikatakan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Demokrasi dan Pemilu (Perludem) Titi Anggraini dan Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas terkait uji materi pasal 222 UU pemilu soal ambang batas presiden atau
presidential threshold.
"Bukan lagi kepentingan bangsa, tapi justru kepentingan [elite] partai," kata Titi, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (31/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, ambang batas presiden membuat pasangan capres-cawapres harus mendapatkan dukungan dari partai atau gabungan partai yang memiliki 20 persen kursi di DPR.
Rekrutmen capres-cawapres pun, lanjutnya, hanya ditentukan sebagian elite parpol secara tertutup tanpa diketahui kader bahkan rakyatnya.
 Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas, di Aula Muhammadiyah, Jakarta, Selasa, 31 Juli. ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
"Rekrutmen parpol makin elitis, sentralistis, dan tertutup. Kalau di sini ada anggota partai saya yakin tidak tahu menahu soal manuver para elit. Karena dikendalikan oleh elite yang membuat keputusan," jelas Titi.
Busyro menyebut aturan terkait ambang batas presiden itu menggugurkan moralitas demokrasi.
"Pasal 222 itu ada unsur kapitalisasi pemilu dengan persentase 20 persen yang itu menggugurkan moralitas demokrasi yang menjadi sendi dari negara hukum," ujarnya.
Padahal, kata Busyro, negara hukum memiliki dua sendi utama yakni demokrasi dan HAM. Ketika ambang batas diberlakukan, sistem demokrasi pun cacat.
"Nah, dengan 20 persen itu demokrasi dibom, cacat," cetus dia, yang juga mantan Wakil Ketua KPK itu.
"Jelas dalam pasal itu tidak ada kedaulatan pemilu, tak ada demokrasi penuh," tambah dia.
 Prabowo Subianto dan Joko Widodo berpeluang 'rematch' di Pilpres 2019. ( CNN Indonesia) |
Oleh karena itu, keduanya berharap agar MK bisa memberikan bisa bersikap bijak dan mengabulkan gugatan uji materi itu.
"UU Pemilu kita ini
overkill, berlebihan. Memang cenderung membatasi, sangat berlebihan. Ini menjauhkan kita dari amanat reformasi, yang menjelaskan untuk memurnikan kedaulatan rakyat dan supremasi hukum," kata Titi.
Sebelumnya, sejumlah pegiat pemilu dan ahli hukum menggugat syarat ambang batas pencalonan presiden.
Para penggugat merasa bahwa pencalonan presiden sebaiknya tidak memiliki syarat ambang batas kepemilikan suara di DPR. Sebab, syarat itu tidak diatur dalam UUD 1945. UU Pemilu pun dianggap bertentangan dengan konstitusi.
(arh)