Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Panglima TNI Jenderal Purn
Gatot Nurmantyo menilai saat ini terjadi hegemoni politik yang salah satunya akibat berlakunya aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) sebesar 20 persen.
Selain itu, ia juga mengibaratkan aturan terkait ambang batas parlemen (
parliamentary threshold) seperti pembunuhan partai politik.
"Sekarang begini, saya bertindak sebagai penonton politik. Satu hal, ada sesuatu yang perlu kita cermati baik-baik. Ini ada hegemoni politik dan bahkan pembunuhan partai politik," ujar Gatot dalam diskusi "Satukan Hati untuk Indonesia" yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Selasa (24/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait hegemoni politik, Gatot menjelaskan saat ini PDIP tercatat memperoleh kursi sebesar 18,95 persen berdasarkan pemilu 2014 lalu.
Sedianya, partai besutan Megawati Soekarnoputri itu cukup berkoalisi dengan satu partai, bahkan partai yang perolehan suaranya kecil, jika ingin memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden. Namun yang terjadi saat ini, justru sejumlah partai justru merapat untuk bekoalisi dengan PDIP mendukung calon petahana
Joko Widodo.
"Inilah yang saya katakan hegemoni," kata Gatot.
Gatot juga menyoroti soal pembentukan aturan terkait ambang batas pencalonan presiden. Menurutnya aturan tersebut kurang
fair bagi masyarakat karena penyelenggara pada pemilu sebelumnya tidak pernah menjelaskan suaranya akan digunakan untuk pemilu 2019 dengan sistem yang berbeda seperti saat ini.
"Bahwa
presidential treshold 20 persen ini pada 2014 tidak pernah diumumkan KPU bahwa hasil pemilu saat itu akan digunakan pada pemilu kali ini," kata Gatot.
Terkait dengan pembunuhan terhadap partai, Gatot menyoroti soal berlakunya Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ( UU Pemilu). Ia mengatakan aturan tersebut menyebutkan bahwa partai politik harus memperoleh minimal 4 persen suara nasional. Jika pun ada sisa kursi, maka dibagi kepada partai-partai pemenang.
"Permasalahannya, contohnya, saya kader PKS dan dukung PKS. Tapi perolehannya di bawah 4 persen. Kelebihannya diberikan kepada mana? partai lain. Kira-kira rela enggak saya, wong saya PKS kok kursinya ke partai lain," ungkap Gatot.
Sayangnya, seskipun menyoroti dua hal tersebut, namun Gatot tidak memaparkan solusi di dalamnya.
Terkait ambang batas pencalonan presiden yang tertuang dalam pasal 222 UU Pemilu, sejumlah pihak telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pihak menilai aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Salah satu pendapat disampaikan oleh Direktur Eksekutif lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini selaku salah satu pihak dari pemohon uji materi nomor 49/PUU-XVI/2018.
Menurut dia, aturan terkait ambang batas tersebut menghilangkan potensi munculnya calon alternatif. Jika pun calon yang muncul terbilang banyak maka sudah diantisipasi dengan sistem dua putaran.
(dal/sur)