Jakarta, CNN Indonesia -- Masyarakat Indonesia dalam kurun satu bulan terakhir dihebohkan oleh dua kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terutama di sektor energi dan sumber daya alam.
Kehebohan pertama dipicu oleh Perjanjian Pendahuluan (Head of Agreement/HoA) terkait divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia.
Melalui HoA, pemerintah berusaha meyakinkan masyarakat bahwa tambang emas di tanah Papua yang selama ini dikuasai Freeport dapat kembali direbut oleh Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, Freeport-McMoran Inc memperkirakan pemerintah Indonesia bisa mengantongi dana sebesar US$60 miliar hingga US$90 miliar atau sekitar Rp864 triliun hingga Rp1.296 triliun (asumsi kurs Rp14.400 per dolar AS) dari kesepakatan harga dan skema divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia yang diteken hari ini.
Belum reda kehebohan kesepakatan divestasi sahan PT Freeport, masyarakat kembali dihebohkan oleh kebijakan pemerintah yang menyerahkan izin pengelolaan Wilayah Kerja (WK) Minyak dan Gas Bumi (Migas) Rokan di Riau kepada PT Pertamina (Persero). Blok migas terbesar di Indonesia ini sebelumnya dikuasai oleh PT Chevron Pacific Indonesia (Chevron).
Pertamina mendapatkan 100 persen hak pengelolaan Blok Rokan selama 20 tahun, terhitung Agustus 2021 sampai dengan Agustus 2041 mendatang.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira memaknai langkah yang ditempuh pemerintah terhadap PT Freeport dan Blok Rokan ini sebagai kebijakan yang sangat politis. Hal itu mengingat kebijakan ini muncul menjelang Pemilihan Presiden 2019.
"Ini kebijakan energi kejar tayang ya, kalau lihat Freeport kontrak habis 2021, Blok Rokan juga terminasi 2021. Terkesan kebijakan di akhir era pak Jokowi ini sedikit terburu-buru," kata Bhima saat dihubungi Indonesia.
Imbas dari dua kebijakan tersebut menimbulkan kesan pemerintahan yang nasionalis. Bhima menyebutnya sebagai semangat menjual isu nasionalisasi.
 Fasilitas minyak PT Chevron Pacific Indonesia di daerah Minas yang masuk dalam Blok Rokan di Riau, Rabu (1/8). (ANTARA FOTO/FB Anggoro) |
Kesan nasionalis ini memang sulit dilepaskan mengingat Freeport dan Chevron merupakan perusahaan asing yang telah puluhan tahun menguasai tambang emas di Papua dan ladang minyak Rokan.
Freeport menguasai Tambang Ertsberg, Papua, sejak 1967. Sedangkan Chevron memiliki Blok Rokan sejak 1971. Sejak itu pula pemerintahan Indonesia sebelum Jokowi tak mampu 'mengambilalih' dua tambang tersebut.
Keberhasilan pemerintah menguasai saham mayoritas PT Freeport Indonesia dan mengambilalih pengelolaan Blok Rokan dari Chevron ini akan menguntungkan dan berdampak positif pada citra Jokowi menjelang Pilpres 2019.
"Karena pemerintah sebelumnya tak mampu lakukan itu. Jadinya rakyat menilai jokowi pemimpin yang progresif berani melawan dominasi asing," ujar pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno.
Amunisi Kampanye Pilpres
Lebih jauh , Adi memprediksi isu PT Freeport dan Blok Rokan akan dimanfaatkan sebagai panggung untuk Jokowi saart kampanye nanti.
Panggung itu nantinya digunakan untuk menonjolkan kemampuan Jokowi menjinakkan pengaruh asing di sektor energi.
"Selama ini bangsa kita selalu dipersepsikan inferior dari asing. Jokowi membalikkan kenyataan itu dengan gebrakan nasionalisasi aset," terang dia.
Sependapat dengan Adi, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai isu ini bakal dimainkan oleh Jokowi pada masa kampanye nanti. Masyarakat tentunya bakal menilai Jokowi berhasil di sektor energi.
Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengemas isu ini agar bisa mempengaruhi publik.
Adi menilai dua kebijakan ini bakal menjadi peluru yang cukup efektif di masa kampanye untuk menghadapi pihak oposisi dari sektor ekonomi.
Isu ekonomi memang patut mendapat sorotan khusus. Sejumlah lembaga survei bahkan menyebut salah satu titik lemah pemerintahan Jokowi terletak pada kemampuan mengurus perekonomian.
LSI Denny JA dalam rilis survei pada Maret lalu menempatkan isu ekonomi dan politik identitas sebagai isu yang berpotensi mengganjal Jokowi. Dalam isu ekonomi, LSI Denny JA menyoroti soal isu tenaga kerja asing dan sulitnya lapangan kerja.
Selain itu pemerintahan Jokowi juga disorot oleh oposisi terkait pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan kenaikan harga bahan pokok.
 Pertambangan PT Freeport Indonesia. (Foto: Dok. Akun Facebook Freeport Indonesia) |
Adi berpendapat keberhasilan pemerintah memiliki saham mayoritas PT Freeport dan menguasai Blok Rokan bisa membentengi Jokowi dari serangan-serangan tersebut.
Minimal, kata dia, upaya pemerintah untuk menggenjot pendapatan dari sektor energi sudah mulai terealisasi.
Ubed sendiri menilai isu PT Freeport dan Blok Rokan tak cukup menangkis serangan terkait isu-isu ekonomi di level dasar seperti mahalnya harga bahan pokok yang selama ini dimainkan oleh pihak oposisi dan dirasakan langsung oleh masyarakat.
Menurut Ubed masyarakat di tataran elite saja yang bakal merasakan dampak dari kebijakan HoA Freeport dan Pemberian Izin Blok Rokan kepada Pertamina ini.
"Rakyat tidak langsung merasakan manfaat itu, dan itu pekerjaan elite juga," terang Ubed.
"Masyarakat beban ekonominya sudah berat karena efek BBM naik, ekspor impor tersendat, nilai rupiah melemah, litu jauh lebih terasa itu lebih terasa dibanding Freeport dan Blok Rokan itu," kata dia melanjutkan.
Atas dasar itu, menurut Ubed, kebijakan pemerintahan Jokowi di sektor energi ini tidak akan berdampak terlalu besar terhadap elektabilitasnya di Pilpres 2019 mendatang.
"Akan ada pengaruhnya tapi tidak besar, bisa saja di bawah lima persen memberi pengaruh karena siapa sih yang terpengaruh kebijakan yang tidak langsung menyentuh persoalan rakyat?" tutur Ubed.
(wis/gil)