Jakarta, CNN Indonesia -- Ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), I Nyoman Wara menyatakan berdasarkan hasil pemeriksaan investigatif yang dilakukan pihaknya, utang petambak PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), yang diklaim sebesar Rp4,8 triliun, dalam kondisi macet.
"Di sana dinyatakan 99,99 persen kredit (utang petambak ke BDNI) adalah macet," kata Wara saat bersaksi untuk terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (6/8).
Utang petambak yang diklaim sebesar Rp4,8 triliun itu merupakan salah satu aset yang diserahkan Sjamsul Nursalim selaku pengendali saham BDNI ke BPPN untuk melunasi utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara pemeriksaan investigatif BPK tersebut terkait dengan dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Sjamsul.
Wara mengatakan kewajiban utang Sjamsul selaku pengendali saham BDNI yang harus dilunasi kepada BPPN sebesar Rp47,25 triliun. Setelah dilakukan penghitungan, jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) Sjamsul hanya sebesar Rp28,40 triliun.
Kemudian berdasarkan kesepakatan antara Sjamsul dengan BPPN melalui perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA), pembayaran utang oleh Sjamsul dilakukan secara tunai sebesar Rp1 triliun dan melalui penyerahan aset senilai Rp27,49 triliun.
Sedangkan utang petambak Dipasena yang diklaim senilai Rp4,8 triliun masuk sebagai salah satu aset milik Sjamsul yang diserahkan kepada BPPN untuk melunasi utang BLBI.
Wara melanjutkan berdasarkan hasil pemeriksaan pihaknya, aset petambak Dipasena yang diklaim sebesar Rp4,8 triliun itu bila dijual hanya bernilai sekitar Rp330 miliar. Oleh karena itu, menurut Wara, Sjamsul melakukan misrepresentasi aset Dipasena yang diserahkan kepada BPPN.
"Jadi sederhananya, kalau seseorang merepresentasikan nilai Rp4,8 triliun, maksudnya nilainya sebesar itu. Kalau tidak dia berati misrepresentasi," ujarnya.
Wara menyatakan pemeriksaan investigatif ini berdasarkan permintaan penyidik KPK tertanggal 4 April 2017 perihal bantuan perhitungan kerugian negara. Wara mengaku mendapat surat tugas untuk melakukan perhitungan pada 13 April 2017 dan diperpanjang pada 10 Juli 2017.
"Kami bisa menyelesaikan pemeriksaan ini, perhitungan kerugian negara tanggal 25 Agustus 2017," ujarnya.
Sebelumnya, salah satu kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, Yusril Ihza Mahendra keberatan dengan kehadiran Wara selaku ahli. Menurut Yusril, Wara yang pernah melakukan audit kepada BPPN pada 2006 seharusnya dihadirkan sebagai saksi fakta, bukan sebagai ahli.
"Kalau dia menerangkan hasil perhitungan, maka dia menerangkan fakta, tidak bisa jadi ahli," ujar Yusril.
Meskipun demikian, Wara mengaku memiliki surat tugas untuk memberikan keterangan sebagai ahli. Selain itu, Wara menjelaskan saat diperiksa oleh penyidik KPK, dirinya memberikan keterangan sebagai ahli.
Ketua majelis hakim Yanto meminta agar persidangan tetap dilanjutkan dengan memeriksa War sebagai ahli. Menurut Yanto, keberatan penasehat hukum dapat disampaikan dalam sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi.
"Ya tinggal nanti saja saudara (penasihat hukum) tinggal tanya aja pendapat dia, dia kan harus memberikan pendapat. Ahli kan harus memberikan pendapat sesuai dengan keahliannya, saudara tanya sesuai dengan keahlian dia," kata Hakim Yanto.
Dalam surat dakwaan Syafruddin Temenggung, pada sekitar 2007 PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) yang menjual aset petambak Dipasena kepada Konsorsium Neptune dari Group Charoen Pokphand hanya senilai Rp220 miliar.
Syafruddin bersama-sama mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul dan istrinya Itjih Nursalim didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun. Dengan menerbitkan SKL BLBI, Syafruddin dianggap memperkaya Sjamsul sebesar Rp4,58 triliun.
(osc/gil)