Berkaca Kasus Meliana, Jokowi Dinilai Lesu Tangani Kasus SARA

CTR | CNN Indonesia
Jumat, 31 Agu 2018 00:21 WIB
Berkaca dari kasus Meiliana di Medan, pemerintah dinilai lemah untuk melindungi warga negara ketika terjerat kasus yang bersinggungan dengan SARA.
Kuasa hukum Meiliana, Ranto Sibarani (kiri), Sastrawan, Goenawan Mohamad, Usman Hamid, dan Ray Rankuti saat penyatan sikap terkait kasus yang menimpa Meliana di Jakarta, 30 Agustus 2018. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dinilai lamban menangani kasus yang berhubungan dengan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Hal ini dikatakan Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti menanggapi kasus Meliana yang divonis 1,5 tahun untuk kasus penodaan agama.

"Sikap pemerintah akhir-akhir ini agak lesu untuk menyikapi masalah ini. Saya pikir dalam 4 tahun pemerintahan Pak Jokowi salah satu yang terlambat adalah kebebasan HAM dan reformasi di bidang hukum," kata Ray di Jakarta, Kamis (30/8).


Menurutnya agenda ini perlu ditagih jelang Pilpres 2019. Para bakal capres yakni Jokowi dan Prabowo Subianto disebutkan Ray harus punya sikap yang keras soal HAM dan berani menyerukan hal itu secara spesifik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pemerintah tidak boleh melakukan pembiaran. Karena sejatinya itulah gunanya pemerintah untuk menjamin hak warga negara," tegas dia.

Kasus Meliana yang divonis Pengadilan Negeri Medan penistaan agama akibat kritiknya soal volume suara Azan yang terdengar dari speaker masjid, kata Ray, menambah catatan panjang kasus penistaan agama di Indonesia. Kasus Meliana berbubtut panjangkarena Meliana bercerita tentang azan yang memakai pengeras suara masjid.

Padahal, menurut Ray, tidak ada hukum di Islam yang mengharuskan pemasangan pengeras suara untuk menyiarkan azan. Namun, ia menilai karena ada tekanan masyarkat nilai itu bergeser dan menyalahkan Meiliana.

"Apakah Toa [pengeras suara] diwajibkan? Tidak ada syarat azan harus pakai Toa, enggak ada fiqih dan sunnahnya. Jadi ada kedangkalan pemahaman di rakyat kita," katanya.


Sementara itu, pengacara dari Meiliana, Ranto Sibarani menduga ada ketidakyakinan dari penegak hukum saat memidanakan kliennya.

"Kami melihat sebenarnya ada keraguan penyidik dan jaksa untuk memidanakan. Itu bisa dilihat dari status hukum Meliana," kata Ranto.

Ranto menjelaskan kasus Meiliana sudah mulai sejak Juli 2016. Namun, setahun kemudian tepatnya pada Maret 2017, Meliana baru ditetapkan sebagai tersangka.

"Ini bisa dilihat setahun kemudian baru ditangkap itu yang kami maksudkan keraguan-raguan," terang dia.

Ranto menilai penyidik dan Jaksa kesusahan dalam menetapkan pasal yang bakal dikenakan kepada Meliana. Kalaupun Meliana tak bisa dijerat dengan pasal penistaan, harusnya jaksa bisa memidanakan Meliana dengan pasal lainnya.

"Kalau penyidik dan jaksa ragu dan enggak bisa dijerat pasal penodaan agama dicari pasal meringankan dia. Misalnya perbuatan tidak menyenangkan jangan dipaksa pasal atau aturan yang enggak bisa dipenuhi," terang dia.

Dampaknya, selama status hukum yang lama, Meliana beserta keluarga mendapatkan intimidasi verbal no verbal. Rumah Meliana sempat diancam dibakar dan dia mendapat umpatan saat menjalani persidangan.

"Keuarganya sudah pindah ke Medan enggak bisa tinggal di situ lagi dan selama dipersidangan enggak diborgol bakal diteriakin," tutup dia.

Kini Meliana beserta kuasa hukum sudah mengajukan banding per tanggal 27 Agustus 2018. Selanjutnya, tim pengacara pun bakal menyiapkan memori banding.

"Jadi kita tunggu saja keputusan selanjutnya. Saya kira dengan tanpa ada bukti yang kuat kalau memang diloloskan bakal ada presden buruk bagi hukum kita," katanya.

Meliana divonis 1,5 tahun penjara di Pengadilan Negeri Medan. Ia terbukti bersalah karena menista agama dengan menyinggung suara azan.


Tuntut Hapus Pasal Penistaan

Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid mengatakan pihaknya sudah berusaha meminta pemerintah menghapus pasal penistaan agama. Pasal ini dianggap merugikan satu kelompok.

"Tidak hanya pasal, kami juga menuntut undang undanganya dicabut pada waktu kasus Ahok," kata Usman.

Undang undang penistaan agama dianggap selalu sebagai alat untuk tafsiran kebencian. Ia mencontohkan ada seorang yang merusak wihara, namun pasal itu tidak dipergunakan.

"Mereka dituduh menyebarkan propaganda kebencian etnis. Jadi jangan heran kalau di negara ini ada ketimpangan hukuman," tutup dia. (kid)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER