Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan meminta Mahkamah Agung (MA) untuk mempercepat putusan terkait polemik calon legislatif mantan narapidana korupsi.
Menteri Koordinator Polhukam Wiranto mengatakan hal tersebut disepakati setelah pihaknya melakukan pertemuan dengan KPU, Bawaslu, Kementerian Dalam Negeri dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"Sudah ada kesepakatan dari perbincangan tadi pada akhirnya semua pihak akan meminta kepada MA untuk melakukan percepatan keputusan terhadap permintaan untuk dapat memutuskan apakah keputusan KPU, Peraturan KPU itu ditolak atau dibenarkan. Kuncinya di situ," terang Wiranto saat konferensi pers di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (4/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wiranto mengatakan polemik caleg eks koruptor ini jangan sampai membuat proses penyelenggaraan Pemilu 2019 tersendat. Dia yakin MA bakal mengeluarkan putusan sebelum Daftar Calon Tetap (DCT) diumumkan pada 20 September 2019 mendatang.
Ia mengaku pihaknya sudah berbicara dengan MA terkait permintaan percepatan putusan polemik ini dan disambut positif oleh MA.
"Bahwa kita akan minta MA untuk segera memprioritaskan masalah ini sehingga keputusan itu memberi kesempatan untuk KPU menyelesaikan DCT pada 20 September, akan datang keputusan MA sebelum itu,"ujar Wiranto.
Lebih lanjut, menurut Wiranto KPU melalui PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan keputusan Bawaslu yang mengabulkan gugatan caleg eks koruptor terhadap PKPU sama-sama sahih dan dapat diterima.
"Maka kita tidak melakukan satu verifikasi salah atau benar tetapi setelah mendengarkan berbagai pihak terutama KPU, Bawaslu memang tidak ada yang salah lembaga pemangku kepentingan itu. Kami ingin mendalami argumentasi hukum KPU dan Bawaslu dalam membuat keputusan itu," ujarnya.
50 Caleg Eks KoruptorTerpisah, anggota Bawaslu Rahmat Bagja memprediksi eks koruptor yang menjadi caleg dalam Pileg 2019 mencapai 50 orang. Menurutnya, jumlah tersebut karena eks koruptor di sejumlah daerah melakukan ajudikasi atas Peraturan KPU yang melarang eks koruptor menjadi bakal caleg.
"Sekarang masih 18. Ini prediksi paling besar itu, karena masih empat atau lima (yang masih berproses di Bawaslu), mungkin 20 atau 30. Rasionalnya segitu paling besar 50," ujar Rahmat di Gedung DPR, Jakarta.
Rahmat membeberkan eks koruptor yang masih melakukan gugatan untuk menjadi bakal caleg tersebar di sejumlah daerah, seperti di Jawa Timur dan Jawa Barat. Dikatakan Rahmat bahwa eks koruptor yang melakukan gugatan tidak ada yang menjadi caleg DPR, melainkan caleg DPRD dan DPD.
Lebih lanjut, Rahmat menilai jumlah eks koruptor yang menjadi caleg terbilang kecil jika dibandingkan dengan jumlah caleg secara nasional dalam Pileg tahun 2019.
"Kami apreasi partai yang juga menurunkan calon anggota yang terlibat dalam tiga masalah tersebut," ujarnya.
Di sisi lain, Rahmat tetap berpendapat PKPU yang melarang mantan terpidana narkoba, pelecehan seksual terhadap anak, dan korupsi menjadi bakal caleg bertentangan dengan UU. Oleh sebab itu, ia menyatakan Bawaslu membatalkan SK KPU yang menolak tiga kategori mantan narapidana itu sebagai bakal caleg karena Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
"Untuk keputusan KPU yang men-TMS-kan mantan narapidana terlibat dalam tga kejahatan tersebut itu tidak ada dalam UU," ujar Rahmat.
Rahmat menyampaikan Bawaslu bakal menghadiri pertemuan tripartit dengan KPU dan DKPP untuk menyelesaikan polemik PKPU yang melarang eks napi koruptor menjadi bakal caleg, pada Rabu (5/9) di lokasi yang dirahasiakan.
"Kami (Bawaslu) diundang ada forum tripartit namanya, ada KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk mengkin salah satunya membicarakan hal ini (polemik PKPU), besok. Jamnya dirahasiakan, tempatnya kalau tidak di Thmarin atau Imam Bonjol. Atau di tempat yang dirahasiakan," ujar Rahmat.
(wis/gil)