Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Bawaslu Rahmat Bagja menyarankan anggota KPU untuk menjadi anggota DPR jika ingin melarang mantan
terpidana korupsi menjadi bakal caleg.
Menurutnya, hanya anggota DPR yang memiliki kewenangan untuk membuat UU, salah satunya, yang dapat melarang eks koruptor menjadi bakal caleg.
"Pernah diusulkan oleh Pak Fahri [Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR] kalau tidak salah, kalaupun mau teman-teman KPU membuat spirit [pelarangan caleg eks koruptor] ini menjadikan peraturan, mudah, melepaskan dirinya jadi anggota KPU, daftar jadi anggota legislatif dan kemudian membuat UU tersebut," ujar Rahmat dalam diskusi di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (4/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rahmat mengatakan anggota KPU saat ini telah melebihi tugasnya sebagai penyelenggara pemilu. Ia melihat KPU saat ini bertindak layaknya DPR yang memiliki fungsi legislasi, yakni menyusun, membahas, hingga menetapkan UU.
"Jadi mereka [KPU] menempatkan sebagai badan legislasi, kekuasaan legislasi. Dan tampaknya eksekutif, karena ekseskutif dan legislasi kan. Karena UU yang buat antara kekuasaan ini," ujarnya.
"Jadi akhirnya saya sudah membayangkan kalau mengikuti pola seperti ini teman-teman [eks napi koruptor] ini tidak akan ada di dalam daftar calon anggota dan tidak akan masuk, bermimpi pun tidak akan bisa masuk ke dalam kertas suara tersebut. Kenapa? Karena sudah dihilangkan [haknya]," ujar Rahmat.
Di sisi lain, Rahmat menilai PKPU itu tidak bermasalah jika MA menyatakan itu sejalan dengan UU. Namun jika sebaliknya, KPU bisa dituntut secara perdata oleh para eks koruptor itu.
Lebih dari itu, ia kembali mengatakan Bawaslu tetap pada keputusan awal, yakni memberi izin eks koruptor masuk ke dalam Daftar Calon Sementara hingga MA mengeluarkan putusan atas uji materi PKPU.
Bahkan, ia mengklaim pihaknya sepakat jika para eks koruptor diberi catatan khusus agar bisa mengoreksi status para eks koruptor sebagai bacaleg jika MA menyatakan PKPU sejalan dengan UU.
"Kami sih menginginkan KPU melaksanakan dulu supaya rehabilitasinya mudah. Misalnya, kami diputuskan bahwa PKPU tidak bertentangan dengan UU, kami akan melakukan fungsi koreksi. KPU tidak bisa melakukan fungsi koreksi," ujar Rahmat.
(arh/sur)