Jakarta, CNN Indonesia -- Dua orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan gugatan uji materi atas
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ke
Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka menyatakan keberatan dengan kalimat dalam pasal 1 angka 2 tentang definisi terorisme lantaran dianggap menciptakan kesan Islam menyetujui terorisme.
Kedua penggugat itu adalah Faisal Alhaq Harahap dan M Raditio Jati Utomo. Gugatan mereka terdaftar diajukan pada 3 September dengan nomor perkara 73/PUU-XVI/2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalimat dalam beleid yang mereka gugat berbunyi, 'dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan'.
Pasal tersebut menjelaskan terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan hingga menimbulkan teror atau rasa takut meluas, yang menimbulkan korban bersifat massal dan/atau kerusakan atau kehancuran objek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan.
"Stigma yang muncul di masyarakat pun membuat citra agama Islam menjadi tidak baik karena terpidana kasus terorisme menggunakan atribut atau simbol umat Islam," kata Faisal, dikutip dari situs resmi MK,
mkri.id.
Faktanya, kata Faisal, sejumlah aksi terorisme yang terjadi Indonesia memang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang beridentitas agama Islam. Namun, menurutnya, gerakan yang dilakukan itu tak mewakili umat Islam yang sesungguhnya.
Faisal menyebut para pelaku tindak pidana terorisme ini sebagai kaum Khawarij, atau golongan dari tubuh umat Islam yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan keluar dari pemerintahan yang sah.
Kaum Khawarij, kata dia, sangat jauh dari ajaran Islam dan memahami ayat-ayat Al quran.
"Kaum khawarij sering mendalilkan Alquran tanpa bekal ilmu dan pemahaman yang benar. Mereka sering meletakkan ayat bukan pada tempatnya dan mudah mengkafirkan di luar kelompok bahkan sesama umat Islam," ujarnya.
Menurut Faisal, motif seseorang melakukan tindakan terorisme tidak bisa dibatasi hanya pada motif yang disebutkan dalam beleid terebut. Kenyataannya motif seseorang melakukan tindakan terorisme beragam, sehingga definisi yang disebutkan dalam UU justru mempersempit pemberantasan terorisme.
Faisal mencontohkan salah satu tindak pidana terorisme di Mal Alam Sutera dilakukan Leopard Wisnu Kumala pada 2015 silam. Motifnya saat itu ternyata adalah untuk mendapatkan sejumlah uang dalam bentuk mata uang digital Bitcoin.
"Itu adalah salah satu contoh motif seseorang melakukan terorisme yang tidak disebutkan dalam UU yaitu motif ekonomi," kata Faisal.
Oleh karena itu, Faisal meminta majelis hakim mengabulkan gugatan dengan menyatakan frasa dipermasalahkan itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Pemohon memohon pada majelis hakim agar menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucapnya.
UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebelumnya resmi disahkan pada Mei lalu. Pengesahan UU ini merupakan hasil revisi UU 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Terdapat sejumlah perubahan di antaranya termasuk soal definisi, ketentuan perlindungan bagi korban aksi terorisme, pemberatan sanksi terhadap pelaku tindak pidana terorisme baik permufakatan jahat, persiapan, percobaan, hingga pembantuan melakukan tindak pidana terorisme.
(ayp/gil)