Jakarta, CNN Indonesia --
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melarang relawan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing membantu penanganan korban bencana
gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah secara langsung tanpa didampingi oleh tenaga lokal.
BNPB juga meminta lembaga asing berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan BNPB sebelum terjun ke lapangan.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan perbedaan kultur menjadi salah satu alasan bantuan dari relawan asing mesti diatur. Hal itu tak hanya berlaku di Indonesia, tetapi di beberapa negara lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang kita terima bantuan dari internasional tapi itu bukan suplemen utama. Kalau ada relawan asing tentu harus diatur, enggak bisa nyelonong masuk
gitu aja," kata Sutopo di Gedung Graha BNPB, Jakarta, Selasa (9/10).
"Perbedaan kultur dan bahasa tentu itu alasannya. Makanya kami punya regulasi, itu sudah lama berlaku bukan tiba-tiba ada," kata dia.
Sutopo mengatakan jika ada relawan asing yang ingin membantu mereka maka harus melalui prosedur dan bekerjasama dengan Palang Merah Indonesia (PMI) atau BNPB.
Saat terjun ke lokasi mereka tidak diperbolehkan bergerak sendirian, hal ini kata Sutopo pada dasarnya untuk melindungi warga asing itu sendiri.
"Pendampingannya dari kami atau PMI, nanti kalau mau kan harus daftar dulu. Ada regulasinya," kata dia.
Meski begitu pihaknya tak menutup bantuan dari asing yang hingga kini masih terus mengalir. Apalagi masih banyak masyarakat korban bencana di Palu yang memerlukan bantuan.
Memasuki H+11 sejak gempa dan tsunami terjadi di Palu, Sulawesi Tengah BNPB merilis telah ditemukan 2010 korban jiwa akibat bencana ini.
Seluruh jenazah yang ditemukan pun telah dimakamkan baik secara masal maupun pemakaman keluarga.
 Evakuasi korban gempa di Palu. (Dok. Puspen TNI) |
Evakuasi Dihentikan 11 OktoberSutopo mengatakan evakuasi korban bencana gempa dan tsunami di Palu, akan dihentikan pada 11 Oktober 2018.
"Pelaksanaan evakuasi korban bencana akan dihentikan setelah selesai tanggap darurat tahap pertama yaitu 11 Oktober 2018," kata Sutopo.
Meski begitu, kata Sutopo, jika memang ada masyarakat yang tetap ingin mencari keluarganya yang hilang atau belum ditemukan setelah proses evakuasi dihentikan, pihaknya tetap akan diizinkan dengan diberi pendampingan dari relawan maupun tim SAR.
"Kami izinkan kalau ada yang mau mencari anggota keluarganya yang hilang di lokasi-lakasi bekas pemukiman mereka, tapi tetap ada pendampingan," katanya.
Lebih lanjut, Sutopo mengatakan penghentian evakuasi itu pun dilakukan setelah mempertimbangkan beberapa hal diantaranya, penemuan jenazah korban tertimbun di beberapa lokasi seperti di kawasan Petobo, Jono Oge, dan Bararoa telah membusuk.
Jenazah yang ditemukan telah melepuh sehingga tak bisa lagi dikenali.
Selain itu, medan yang berbahaya pun menyulitkan proses evakuasi. Misalnya genangan lumpur bekas likuafikasi yang terjadi di Petobo hingga saat ini belum mengering.
"Kondisi jenazah sudah melepuh tidak dikenali, kalau pun ketemu ya menimbulkan penyakit," kata dia.
Terkait masa tanggap darurat yang akan berakhir pada 11 Oktober pihaknya bersama kementerian dan lembaga terkait akan segera melakukan rapat koordinasi apakah status tanggap darurat perlu diperpanjang atau tidak.
"Nanti akan ada rapat tanggal 10 untuk putuskan apakah perlu masa tanggap diperpanjang atau tidak. Tapi melihat kondisi, saya kira akan diperpanjang hingga 14 hari," kata dia.
(tst/ugo)