Jakarta, CNN Indonesia --
Becak sudah jadi bagian sejarah
DKI Jakarta. Sudah ada sebelum Republik Indonesia berdiri, becak di ibu kota terancam lenyap dengan terbitnya Peraturan Derah nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Dalam pasal 29 Perda tersebut, dinyatakan
"Setiap orang atau badan dilarang: a. melakukan usaha pembuatan, perakitan, penjualan dan memasukkan becak atau barang yang difungsikan sebagai becak dan/atau sejenisnya. b. mengoperasikan dan menyimpan becak dan/atau sejenisnya".Namun belakangan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang terpilih pada Pilkada 2017 menyatakan akan kembali mengizinkan becak kembali beroperasi meski hanya di wilayah-wilayah tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan saat ini revisi Perda Nomor 8 tahun 2007 diajukan ke DPRD DKI Jakarta agar becak bisa secara legal beroperasi di Jakarta. Namun Anies menegaskan, bukan berarti becak bisa beroperasi di jalur protokol seperti Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Becak dilarang beroperasi karena dianggap menjadi penyebab macet. Pasalnya, becak tak bisa melaju kencang dan kerap memakan badan jalan saat mangkal.
Namun penghapusannya juga jadi pertentangan karena banyak warga yang menggantungkan hidup dari mengayuh becak.
Usai Anies membolehkan becak beroperasi, alat angkut tenaga manusia ini mulai bermunculan.
Salah satu kawasan di mana becak beroperasi adalah Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Di sini, ratusan becak terdaftar di kelurahan setempat dan beroperasi di sekitar wilayah tersebut.
Lurah Pejagalan Yogara Fernandez mengatakan, dari 18 rukun warga (RW), becak ada di 9 RW.
"Di 9 RW ada sekitar 286 becak yang terdata," kata Yogara Fernandez saat ditemui
CNNIndonesia.com di kantornya, Rabu (10/10).
Awalnya, warga banyak yang mengeluhkan keberadaan ratusan becak ini karena banyak pengemudinya yang sembarangan mangkal.
Berawal dari sini, sekitar tiga bulan lalu Yogara membuat tempat khusus mangkal tukang becak. Areal ini dibuat di dekat lokasi yang tingkat aktivitas masyarakatnya terbilang tinggi, seperti sekitar Pasar Teluk Gong.
Di sekitar pasar itu sudah terbangun tiga titik "Shelter Becak Terpadu", yakni di Jalan K RW 09 atau tepat di sebelah pasar, di Jalan Fajar RW 17 atau seberang pasar, dan di Jalan B Raya RW 08 atau sedikit ke arah Barat dari pasar.
Yogara mengatakan bahwa adanya selter tersebut, maka penarik becak menjadi lebih tertib. Saat menunggu penumpang, pengemudi becak harus berada di selter tersebut.
"Selter dibuat untuk mengurangi titik-titik mangkal yang semrawut," kata Yogara.
Jangan bayangkan selter itu semacam halte atau pemberhentian bus. Selter itu hanya sebuah tempat di pinggir jalan yang diberi penanda berupa plang nama.
Ke depan Yogara berharap selter itu bisa dibangun menjadi semacam halte.
"Walaupun ukurannya kecil, tapi setidaknya ada tempat representatif bagi warga," kata dia.
Selain itu Yogara berharap para pengemudi becak taat aturan dengan tidak mangkal selain di selter. Salah satu sosialisasi yang dilakukan adalah dengan memasang spanduk bertuliskan "Becak dilarang mangkal di sepanjang Jalan Teluk Gong Raya, bagi yang melanggar akan diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku" di Jalan Teluk Gong Raya.
Sejauh ini, imbauan cukup efektif karena pengemudi becak tak ada yang mangkal di sembarang tempat.
 Transportasi becak masih beroperasi di wilayah Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara. (CNN Indonesia/Fachri Fachrudin) |
Selain di tiga titik itu, Yogara berharap selter juga bisa dibangun di beberapa titik terutama di kompleks perumahan warga yang masih membutuhkan becak. Selter juga nantinya bisa dibangun lebih modern, misalnya dilengkapi dengan telepon panggilan.
"Harapan saya mereka bisa jadi seperti becak
online atau setidaknya ada satu telepon untuk operator di selter," kata Yogara.
Pantauan
CNNIndonesia.com di ketiga lokasi selter yang sudah dibuat, sejumlah becak tampak berjajar rapi menunggu calon penumpang.
Yogara mengungkapkan upaya mendirikan plang "Selter Becak Terpadu" di tiga titik lokasi sekitar pasar Teluk Gong tidaklah mudah. Dia perlu beberapa kali melakukan pertemuan dengan para tukang becak untuk pendataan, sosialisasi hingga akhirnya seluruh pihak bersepakat diadakan selter becak.
Saat itu, kata Prayoga, banyak tukang becak yang ragu dengan keberadaan selter. Mereka khawatir selter yang dibangun akan memengaruhi penghasilan mereka.
Namun akhirnya para tukang becak bisa memahami bahwa keberadaannya perlu diatur agar tidak ada warga lain yang merasa dirugikan.
"Bahkan saya juga tekankan kepada para tukang becak, 'bapak mau jadi sahabat masyarakat atau dianggap biang macet'. Membuat mereka paham itu tidak mudah, ini susah," ucapnya.
Yogara mengakui bahwa becak sudah dilarang keberadaannya di Ibu Kota. Namun dia juga kesulitan mencegah warga yang mencari rezeki dari menarik becak.
 Tukang Becak di Teluk Gong, Jakarta Utara. (CNN Indonesia/Fachri Fachrudin) |
Di sisi lain, keberadaan becak di wilayahnya tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan masyarakat setempat.
Menurut dia, warga di wilayahnya lebih banyak menggunakan becak untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Misalnya berbelanja ke pasar atau ke lokasi lain yang masih di dalam wilayah Pejagalan.
Karena selain murah, becak juga terbilang cepat. Warga bisa memanggil langsung tukang becak yang sedang mangkal untuk diminta mengantar ke lokasi yang dituju.
"Kalau transportasi
online kan harus pencet
handphone dulu, nyari dulu, nunggu lagi, baru datang menjemput," kata Yogara.
Oleh karena itu, lanjutnya, sementara ini "Selter Becak Terpadu" menjadi solusi alternatif yang bisa menjembatani para pihak.
"Mereka (warga) biasa naik becak, untuk ke pasar, atau bahkan cuma untuk jalan-jalan sore-sore. Sebenarnya warga dan tukang becak ini simbiosis mutualisme," kata Yogara.
Sementara itu seorang pengemudi becak di Teluk Gong, Suwarno saat ditemui menyatakan keberadaan selter itu memudahkan. Selain itu membuat lalu lintas lebih rapi.
"Jadi lebih rapi, kalau mangkal di selter tidak digaruk (ditertibkan), enggak macet," katanya.
Selain itu pengemudi becak bisa dengan mudah mengetahui warga yang ingin naik becak dan yang tidak.
(sur/sur)