Jakarta, CNN Indonesia -- Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berbeda pandangan terkait istilah cebong dan kampret. Diketahui cebong merupakan panggilan untuk pendukung
Joko Widodo, sementara kampret menjadi sebutan untuk pendukung
Prabowo Subianto.
Politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menilai sebutan kedua istilah itu sudah menjadi hal lumrah. Panggilan untuk pendukung masing masing kubu itu disebutnya sudah tak lagi timbulkan sakit hati maupun tensi tinggi seperti dulu di awal-awal kemunculan di media sosial.
"Itu kan hanya sebuah lelucon namun kosa kata ini kan sudah menjadi sesuatu yag sudah terbiasa digunakan oleh netizen," jawab Ferdinand dalam diskusi publik "Buzzer Poltiik di Sosial Media, Efektifkah?" di Tebet, Jakarta Selatan pada Jumat (12/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ferdinand mengakui kerap memanggil pendukung lawan politiknya itu dengan panggilan 'bong' (kependekan dari cebong) di cuitan-cuitannya. Hal itu dilakukannya karena sebutan itu digunakan oleh pengguna media sosial lainnya.
"Saya pikir orang tidak ada yang tersinggung disebut cebong atau kampret asalkan dukung mendukung. Karena sudah jadi kosakata yang diterima dan terbiasa, bukan sesuatu yang tidak layak dibicarakan. Faktanya orang pakai itu di sosmed," lanjutnya.
 Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko. (CNN Indonesia/Christie Stefanie). |
Berbeda dengan Ferdinand, politikus PDIP Budiman Sudjatmiko mengatakan bahwa Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf dari PDIP tak diizinkan menggunakan sebutan-sebutan tersebut. Pihaknya tak ingin kejadian genosida di Rwanda yang memberikan istilah kecoa pada etnis Tutsi dan Hutu terjadi di Indonesia.
"Kalau di PDIP kami tidak memakai itu. Tampaknya di TKN di
influencer juga. Kalaupun ada pasti di luar anggota partai," katanya.
Dia menambahkan bahwa sebutan tersebut justru merusak masyarakat yang sudah terpolarisasi kepada kedua kubu.
Pengamat Politik Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad sepakat dengan Budiman bahwa sebaiknya sebutan kampret maupun cebong tidak digunakan oleh
influencer,
buzzer maupun pendukung masing-masing kubu. Tak ada yang diuntungkan dengan sebutan tersebut.
"Ya mestinya dihindari, kita diingatkan Rwanda di mana suku gunakan istilah binatang untuk membantai. Kalau itu bisa terjadi di kita tidak akan menguntungkan siapapun, tapi rugikan semuanya," kata Saidiman.
Saidiman menambahkan bahwa Pilpres 2019 bukan perang, melainkan kompetisi dalam demokrasi. Seharusnya dalam pilpres, lawan politik tidak dianggap sebagai musuh yang mesti diperangi.
(kst/osc)