Jakarta, CNN Indonesia -- Gemerincing koin mengiringi langkah kaki Yuli, seorang perempuan kernet
Metromini S69, menarik ongkos dari para penumpang.
Sore itu, Kamis (4/10), Yuli menemani Yudi, sopir Metromini, untuk mengantar penumpang dalam satu rit antara Terminal Blok M-Ciledug.
Wajahnya letih, rambut dan pakaiannya pun mulai lusuh karena sudah beraktivitas sejak matahari terbit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat perjalanan dari Ciledug ke Terminal Blok M, hanya ada empat penumpang. Meski sepi, Yuli tetap menarik ongkos seperti biasa, Rp4 ribu untuk jauh ataupun dekat.
Alhasil, dalam rit itu mereka hanya bisa meraup Rp40 ribu. Yudi mengambil Rp25 ribu dan sisanya untuk Yuli.
"Ya Allah, Yud, gue ngamen aja, ya," ucap Yuli seusai mendapat jatah Rp15 ribu.
"Ngamen entar ditangkep, lo," canda Yudi menertawai penghasilan kecil mereka.
Yuli mengaku sudah hidup dari Metromini sejak 2010. Ia terpaksa turun ke jalan karena suaminya meninggal. Kebutuhan anak semata wayangnya membuat ia memilih untuk terus menantang kerasnya kehidupan ibu kota. Buah hatinya itu kini sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Awalnya ia berdagang kerupuk Palembang di jalanan Pamulang, Tangerang Selatan. Lalu ia diajak untuk bekerja di Jakarta oleh seorang kawan.
Pergaulannya dengan awak Metromini, membuka jalan menjadi kernet. Bahkan sebelumnya ia sering menjadi sopir pengganti alias supir tembak Metromini.
"Saya suka ikut-ikutan sore
gini pas jam sewa (waktu di saat penumpang ramai). Saya duduk aja di Mayestik, pasti banyak yang
nembakin (menawarkan jadi sopir tembak)," ucap Yuli, Rabu(10/10).
Dahulu hampir setiap hari Yuli jadi supir tembak Metromini S72 jurusan Blok M-Lebak Bulus dan S74 jurusan Blok M-Rempoa.
Biasanya ia menggantikan sopir resmi yang sedang ingin istirahat. Yuli ditugasi mengemudi dua rit dengan syarat menyetor ke sopir Rp50 ribu setiap rit.
"Tapi saya sudah lama enggak
nembak Metromini, udah
ancur enggak ada duitnya. Sekarang
nembak angkot aja," tutur dia.
Sudah sekitar setahun Yuli tak lagi jadi supir tembak Metromini. Dahulu ia bisa mengantongi sampai Rp100 ribu sekali menembak.
Kini ia memilih menjadi kernet,
timer atau orang yang mencarikan penumpang saat mengetem, dan pengamen. Sesekali ia menjadi sopir tembak angkot di sekitar Blok M.
Ia biasanya mengantongi Rp15 ribu hingga Rp20 ribu ketika menjadi kernet. Yuli menggunakannya untuk uang makan.
Penghasilan terbesarnya datang dari mengamen. Biasanya ia membawa pulang sekitar Rp50 ribu sehari. Uang itu ia simpan untuk kebutuhan sekolah dan jajan anaknya.
"(Pengamen) Yang lain bisa Rp150 ribu sehari, saya enggak sampai segitu, kan mereka pakai obat. Kalau saya capek ya sudah capek, gocap (Rp50 ribu) paling dari pagi sampe siang, sudah istirahat," ujar dia.
Namun perasaannya tak pernah tenang saat mengamen. Matanya selalu awas memantau keberadaan petugas Dinas Sosial dan Satpol PP yang bisa merazia sewaktu-waktu.
Selain tekanan dari aparat keamanan, menjadi perempuan berprofesi kernet Metromini juga dibayang-bayangi kekerasan jalanan.
Seperti yang dialami Agata, perempuan kernet Metro Mini S62 jurusan Pasar Minggu-Manggarai.
Rawan KekerasanJumat (19/10) siang, Agata menunggu suaminya, Yos, yang sedang membawa Metromini. Agata hendak membantu Yos menjadi kernet seperti yang ia lakukan setiap hari.
Agata memilih berteduh di bawah jembatan penyeberangan orang (JPO) Stasiun Pasar Minggu yang lama tak berfungsi dan tak diurusi Pemprov DKI Jakarta.
Sembari menunggu, Agata menemani putri kecilnya yang baru berusia tiga tahun bermain di jalanan, di antara kepulan asap kendaraan bermotor.
Tiba-tiba seorang bertubuh tinggi berlari masuk ke Metromini yang berada di depan Agata. Orang tersebut melabrak kernet yang ada di dalamnya hingga terhempas ke badan bus.
Orang bertubuh tinggi itu lalu mencekik dan memaki-maki sang kernet.
"
Lo ngambil jatah gue kan?" teriak orang tinggi itu.
Tampaknya kedua orang itu sama-sama kernet yang berebut jatah penumpang. Adu mulut pun terjadi antara keduanya. Semua mata di Pasar Minggu tertuju ke perkelahian itu.
Lalu kernet yang dicekik melakukan perlawanan dengan mengeluarkan sebilah pisau.
Keduanya keluar Metromini dan bentrokan pecah antara kedua kernet itu. Beberapa pengamen dan pedagang berusaha melerai, sebagian lainnya ikut melayangkan jotosan.
Agata pun spontan menggendong putri kecilnya dan berlari masuk ke Metromini lainnya.
"Ayo jalan, jalan dulu," teriak Agata kepada sang sopir agar terhindar dari bentrokan tersebut.
Kehidupan keras jalanan sudah Agata geluti sejak kecil, saat ia mulai menggeluti kehidupan di Metromini.
Ia biasanya ikut mengamen atau menjadi
timer. Pada 2015, ia coba menggeluti pekerjaan baru, menjadi kernet Metromini.
"Ikut suami karena kan kalau enggak ada kernet, bayarnya suka sembarangan. Ada yang bayar Rp2 ribu, sekarang kan ongkosnya Rp4 ribu," kata Agata saat ditemui di Pasar Minggu, Jakarta, Jumat (19/10).
Agata mengatakan selalu membawa anaknya yang masih kecil saat menjadi kernet karena tak ada yang menjaga.
Ia rela ikut turun menjadi kernet untuk menekan pengeluaran. Jika Yos memakai jasa kernet lain, penghasilannya yanh tak seberapa masih harus dibagi dua.
"Sekarang mah narik dapet Rp30 ribu sehari udah bersyukur. Karena kita sama laki (suami), jadi enggak di-
cak (dibagi) dua," tuturnya.
Termos Rusak dan CibiranMenjadi perempuan yang bekerja di jalan diakui Agata memang tak mudah. Hal yang paling sering ia alami adalah menjadi sasaran tembak amarah penumpang.
Kondisi Metromini, katanya, saat ini tak lagi prima. Keberadaan Transjakarta yang jauh lebih aman dan nyaman menggerus pendapatan.
Sehingga Metromini harus berlama-lama mengetem mencari penumpang. Agata pun sering kena semprot penumpang.
"Ya, paling diomelin sewa (penumpang) kalau ngetem lama. 'Lama banget, panas nih,' emak-emak biasanya," ucapnya sembari tertawa kecil.
Tantangan bekerja di Metromini juga dialami Yuli. Ia bahkan mengaku harus merahasiakan pekerjaannya dari keluarganya sendiri.
Setiap pagi, Yuli berangkat dengan membawa sebuah termos. Termos itu untuk mengelabui saudara-saudaranya.
"Saya selalu nenteng-nenteng termos, padahal rusak. Mereka tahunya saya dagang kopi," kata Yuli sembari tersenyum malu.
Dia mengungkap hanya anak laki-lakinya yang tahu ia bekerja sebagai kernet, pengamen, dan supir tembak. Keluarga dan tetangganya tak ada satu pun yang tahu.
Rintangan mental juga Yuli alami saat di dalam kabin Metromini. Tak jarang penumpang mencibirnya.
Yuli sering disindir karena hidup di jalanan sebagai kernet padahal perempuan. Namun ia mengaku tak gentar sedikit pun.
Karena pekerjaan itulah sekarang ia memiliki rumah sendiri di Pamulang sejak Juni lalu.
"Saya bilang aja enggak semua perempuan nadahin tangan doang sama laki-laki, Bu," ucap Yuli melawan pertanyaan getir penumpang.
(pmg/pmg)