Jakarta, CNN Indonesia -- Diran memacu bus
Metromini S69 sekali lagi dari Terminal Blok M menuju Ciledug. Pukul 10.30 WIB, ia memulai perjalanan keduanya hari itu.
Tak banyak 'modal' yang ia bawa di metromininya setelah mengetem sekitar dua jam. Dari 25 bangku tersedia, hanya lima di antaranya yang terisi. Namun Diran tetap memacu bus tuanya.
Sama seperti yang lain, Metromini yang dikendarai Diran ongkosnya Rp4 ribu baik jarak dekat maupun jauh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Raungan mesin tak bisa menutupi renta mobil buatan tahun 1995 tersebut. Lantai berlubang dan dinding bus yang retak-retak bergetar hebat saat mobil dipacu lebih kencang.
Mesin meraung-raung saat bus menaiki jembatan layang Kebayoran Lama.
Selain bising, kabin bus ini terasa begitu panas. Terik matahari Jakarta, hangatnya mesin tua di bawah lantai bus, dan nihilnya pendingin udara bahkan kipas angin, jadi paket lengkap 'sauna' ala Metromini.
Beberapa penumpang terlihat mengipas-ngipas dengan tangan berharap meredakan gerah. Seakan tak punya pilihan lain, para penumpang tetap tak beranjak dari bangku reot bus.
Usai melewati jembatan layang, Diran memperlambat laju bus. Mata Diran awas, melihat-lihat dan berharap ada calon penumpang yang hendak menggunakan jasanya.
Namun, tiba-tiba seorang penumpang laki-laki turun dari bus Diran. Pria berusia sekitar 40 tahun itu turun tanpa membayar terlebih dulu.
"Mas, ongkosnya belum mas," teriak Diran.
Namun orang itu tetap berjalan meninggalkan bus tanpa menggubris panggilan Diran.
Diran pun memarkirkan bus di tepi jalan. Lalu ia berjalan ke belakang menarik ongkos dari para penumpang, mencegah kejadian serupa terulang.
"Sudah biasa, paling juga copet," ucap Diran kepada
CNNIndonesia.com yang mengikuti busnya, Kamis (11/10). Ia tetap tersenyum sambil merapikan uang receh di genggamannya.
Dia menyebut sering mengalami hal ini lantaran tak didampingi kernet. Diran mengaku tak mampu lagi menggaji kernet dengan kondisi Metromini yang sekarang.
Pria 53 tahun ini mengaku sudah jadi sopir Metromini sejak 1990-an. Dulu Diran bisa mendapat hingga sembilan rit sehari dengan penumpang penuh atau nyaris penuh. Kini hanya bisa maksimal empat rit karena tak ada penumpang.
Pendapatannya terjun bebas. Dahulu, pendapatan kotor bisa menembus Rp1 juta per hari. Akan tetapi sekarang tak sampai setengahnya.
Uang sekitar Rp400 ribu yang didapat, harus disisihkan Rp200 ribu untuk setoran ke pemilik bus dan Rp100 ribu untuk mengisi bahan bakar. Sisanya dikantongi untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Diran menyebut keberadaan Koridor 13 Transjakarta memukul telak para pengemudi Metromini, khususnya S69.
Pasalnya Koridor 13, terutama 13A, melahap jalur S69. Koridor 13A meliputi Terminal Blok M - Tendean - Rawa Barat - Tirtayasa - CSW - Mayestik - Velbak - Kebayoran Lama - Seskoal - Cipulir - Swadarma - JORR - Adam Malik - Puri Beta 1 - Puri Beta 2.
Koridor baru tak cuma menawarkan perjalanan yang lebih nyaman. Kabin ber-AC, ongkos lebih murah, dan petugas ramah jelas tak didapat di Metromini.
"[Koridor 13] bukan
ngaruh lagi. Setoran aja sudah turun, dulu Rp350 ribu sehari, sekarang cuma Rp200 ribu sehari. Ini [Metromini] enggak dimatiin, tapi dibiarin mati sendiri," ujar dia.
Diran menyadari usia Metromini tak lama lagi. Apalagi dengan kabar Transjakarta akan membangun halte di Central Business District (CBD) Ciledug.
Jika rencana itu benar terwujud, maka Transjakarta secara resmi mencapolok seluruh jalur Metromini S69. Karena itu Diran tahu diri jika sebentar lagi pensiun. Karena itu mau tak mau ia harus menyiapkan rencana lanjutan agar dapur tetap
ngebul."Saya sebentar lagi pensiun, sampai itu beres saja. Jualan sayur aja di rumah, lumayan," kata Diran sembari menghisap sebatang rokok.
Begitu pula yang dialami Supardi, supir Metro Mini 640 jurusan Pasar Minggu - Tanah Abang.
Selasa (9/10) siang Supardi menerima estafet bus dari rekannya, Malalo, yang sudah narik dari sebelum matahari terbit.
Supardi dan Malalo berbagi jam penggunaan bus. Malalo mengambil
shift pagi dari 05.00 hingga 10.00 WIB. Sementara Supardi melanjutkan hingga pukul 21.00 WIB.
Setoran Rp250 ribu sehari pun mereka bagi dua. Tak lupa biaya jatah montir Rp20 ribu mereka bayar bersama.
Supardi mengetem sejenak di bawah jembatan penyeberangan orang (JPO) Stasiun Pasar Minggu. Hasilnya empat dari 25 kursi terisi. Ia pun berangkat untuk rit pertama.
Sepanjang jalan, Supardi hanya beberapa kali berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.
Hingga titik terakhir trayek, Taman DPU Jatibaru, Supardi hanya mendapat sepuluh penumpang. Ia pun memutuskan untuk mengatur selah alias istirahat sebentar sembari menunggu penumpang.
Sedikit berseloroh, menurutnya sekarang copet sekrang tak ada yang naik metromini karena minimnya penumpang.
"Copet saja enggak ada, orang penumpangnya cuma tiga orang, lima orang. Dulu waktu penuh, ada copet. Kalau penuh, copetnya ada lima sampai tujuh orang. Sekarang penumpangnya naik satu, turun satu," kata Supardi.
Kini, setiap hari Supardi dan Malalo meraup pendapatan kotor Rp700 ribu. Pendapatan itu masih harus dipotong Rp250 ribu setoran dan Rp200 ribu untuk solar.
Supardi sendiri setiap hari hanya mengantongi Rp100 ribu hingga Rp150 ribu. Itu pun belum dipotong gaji kernet yang membantunya.
"Ya kalau dapat Rp100 ribu, kernet Rp45 ribu, saya Rp55 ribu. Cuma buat jajan saya sama anak," ucapnya sembari tertawa.
Sejumlah sopir Metro Mini menunggu penumpang di Terminal Blok M, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Prima Gumilang) |
"Saya enggak berani kalau sendirian, mobilnya udah enggak bener. Biar ada yang bantuin kalau kenapa-kenapa. Rezeki mah, sudah Allah atur," lanjutnya.
Supardi memiliki satu anak balita dari pernikahan kedua. Beruntung istrinya juga bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Kesehatan di bagian penelitian.
Menunggu sekitar satu jam, tak ada penumpang yang naik sama sekali. Supardi pun memutuskan untuk jalan lagi menuju Pasar Minggu.
Metromini Supardi berjalan perlahan, kecepatannya tak lebih dari 40 kilometer per jam. Selain mencari penumpang, mobil ini akan bergetar hebat juka dipacu dengan kecepatan tinggi.
Mesin bus tahun 1987 itu selalu meraung meski berjalan perlahan. Untuk berbicara di dalam kabin, penumpang harus berteriak untuk mengalahkan bawelnya mesin mobil Supardi.
Ketika berjalan perlahan di depan gedung Bank Indonesia di Kebon Sirih, mobil Supardi disetop beberapa karyawan.
Sekitar sebelas karyawan BI menumpang Metromini Supardi. Saat itu memang jam istirahat makan siang.
Supardi sedikit tersenyum melihat banyaknya penumpang yang ia dapat. Namun ia harus menghadapi gangguan sopir Metromini lain yang iri padanya.
Beberapa kali Metromini lain mengadang laju bus Supardi. Beberapa kali pula bus tersebut menyerobot bus Supardi dan mengambil penumpang.
"Sudah biasa kayak
gitu. Dia berani begitu karena bosnya perwira militer, dulu saya juga kerja di sana," tutur pria asal Kudus tersebut.
Hari-hari terakhir Metromini juga dirasakan Wagimin, warga Ciledug. Pria paruh baya ini sudah berlangganan Metromini S69 sejak 1986.
Biasanya ia menumpang Metromini untuk menuju kantornya di Sudirman, Jakarta Pusat. Wagimin bekerja sebagai office boy di salah satu bank swasta.
Wagimin mengatakan tidak terbiasa menggunakan Transjakarta, meski lebih aman dan nyaman. Ia lebih memilih transportasi yang sudah ia tumpangi lebih dari tiga puluh tahun.
"Saya mah, enggak terlalu masalah enggak ada AC, yang penting gampang-gampang aja. Repot kalau Transjakarta," katanya, Kamis (18/10).
Wagimin bilang biasanya mengeluarkan biaya transportasi Rp28 ribu setiap hari. Lebih mahal Rp21 ribu jika ia memilih naik Transjakarta.
Laki-laki asal Wonogiri itu mengaku pasrah jika transportasi favoritnya, Metromini, punah.
"Ya terserah saja, ikutin aja. Yang ada aja, mungkin nanti diantar anak," kata Wagimin.
Kesedihan akan ditinggal Metromini juga dialami Gareng alias Abu, pedagang minuman.
Gareng merasakan akhir hayat Metromini tak lama lagi. Hal itu ia prediksi dari pendapatannya yang semakin menurun kala berjualan minuman dingin.
"Dulu ya ramai, lumayan. Sehari bisa habis dua tiga ember. Sekarang satu aja boro-boro," katanya saat ditemui di Terminal Blok M.
Gareng menyebut satu ember biasanya berisi satu dus air mineral, lima belas botol teh manis, dan beberapa gelas kopi kemasan.
Kala itu ia bisa mengantongi pendapatan bersih Rp100 ribu per hari. Namun kini hanya sepertiganya.
Pria asal Majalengka itu merindukan saat awal ia berjualan di Metromini pada 1986. Kala itu tak sulit menjual minuman karena Metromini selalu disesaki penumpang.
"Dulu mah, penuh sampai miring-miring. Sekarang sudah ngetem berjam-jam juga enggak ada sewanya," kenang dia.
Ia berharap umur Metromini masih panjang. Gareng mengaku belum tahu harus berjualan di mana jika Metromini punah.
"Waktu itu pernah jualan buka warung, tapi ditutup juga sama Satpol PP. Sekarang mau buka, sewanya mahal, pendapatannya enggak ada," imbuhnya.