Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak Presiden
Joko Widodo (Jokowi) memberi
amnesti kepada
Baiq Nuril, terpidana kasus pencemaran nama baik yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Langkah ini sebagai upaya melepaskan Baiq dari putusan hukum yang menjeratnya.
"Meminta Presiden menggunakan hak-nya berdasarkan konstitusi yaitu memberikan Amnesti," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju melalui keterangan tertulisnya, Kamis (15/11).
Ia menyampaikan bahwa Pasal 14 UUD 1945 dan UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi memberikan kewenangan bagi presiden untuk mengampuni orang-orang yang telah melakukan tindak pidana.
Meskipun, di sisi lain diketahui bahwa selama ini baik secara nasional maupun internasional, amnesti diutamakan diberikan kepada seseorang yang terbukti melakukan kejahatan politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun secara regulasi, kata Anggara, tidak ditemukan pembatasan pemberian amnesti hanya pada kasus-kasus kejahatan politik saja.
"Maka atas nama kemanusiaan dan kepentingan negara untuk melindungi korban kekerasan seksual, Presiden Jokowi dapat dan harus betul-betul mempertimbangkan memberikan Amnesti pada ibu Baiq Nuril," kata dia.
Anggara mengingatkan Presiden Jokowi telah berkomitmen memberikan perlindungan hukum dan akan mengawasi penegakan hukum khususnya terkait perempuan.
Dengan pemberian amnesti terhadap Baiq, hal itu menunjukkan keseriusan pemerintah memberikan perlindungan atas korban kekerasan seksual.
"Pemberian amnesti pada Ibu Nuril akan sejalan dengan komitmen Presiden. Catatan besarnya, Ibu Nuril merupakan korban pelecehan seksual, yang seharusnya wajib diberikan perlindungan oleh negara," ujarnya.
Pemberian amnesty adalah salah satu upaya hukum untuk bisa membeaskan Baiq Nuril dari jerat kasus pencemaran nama baik. ICJR menyebut, upaya hukum lain adalah peninjauan kembali (PK) dengan mencari novum atau bukti baru.
Soal PK ini, kuasa hukum Baiq, Joko Jumadi menyebut akan mengajukannya ke Mahkamah Agung. PK diajukan menunggu salinan kasasi diterima.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) melalui majelis kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, menjatuhkan vonis hukuman kepada Baiq Nuril selama enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Dalam putusannya, majelis kasasi MA menganulir putusan pengadilan tingkat pertama di PN Mataram yang menyatakan Baiq Nuril bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kasus Baiq Nuril ini bermula dari pelecehan yang disebut kerap dilakukan atasannya kala itu yakni Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram berinisial M. Bentuknya, M menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya melalui sambungan telepon.
Tidak nyaman dengan hal tersebut sekaligus untuk membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat hubungan gelap seperti yang dibicarakan orang sekitarnya, Baiq Nuril merekam pembicaraan dengan M. Bukan atas kehendaknya, rekaman tersebut menyebar.
M yang tak terima kemudian melaporkan Baiq dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Atas pelaporan itu PN Mataram memutus Baiq Nuril tidak terbukti menyebarkan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan pada 26 Juli 2017. Jaksa Penuntut Umum lantas mengajukan banding hingga tingkat kasasi.
(fhr/sur)