Jakarta, CNN Indonesia -- Komisioner
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Wahyu Setiawan mengaku pihaknya membuka opsi untuk memasukkan Ketua Umum Hanura
Oesman Sapta Odang (OSO) dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilihan Legislatif DPD RI.
Hanya saja, dalam opsi itu, saat terpilih OSO harus mengundurkan diri dari jabatan pengurus partai politik.
"Kemudian yang bersangkutan menjadi calon anggota DPD, kemudian kami masukkan dalam DCT. Tetapi apabila yang bersangkutan terpilih, maka dia harus mengundurkan diri dari jabatan pengurus parpol. Ini kan
win-win solution," papar Wahyu di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis (15/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya saja hal tersebut masih sebatas opsi yang saat ini masih dikaji oleh KPU. Ia mengatakan terdapat sejumlah opsi ihwal masuk atau tidaknya OSO ke dalam DCT DPD di Pileg 2019.
"Sekali lagi ini kami belum ambil keputusan. Tetapi akan kami melihat dari berbagai sisi," ujar Wahyu.
Ia memastikan KPU bakal melihat berbagai sisi dan aspek dalam memutuskan hal ini. Sebab KPU harus mempertimbangkan tiga putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara yang saling bersinggungan satu sama lain.
Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 pada 23 Juli lalu menyatakan bahwa DPD tidak boleh diisi oleh pengurus parpol. KPU sempat menindaklanjuti dengan menerbitkan aturan perubahan yang meminta bakal calon anggota DPD melampirkan surat pengunduran diri dari parpolnya masing-masing.
Lebih jauh KPU mencoret nama Oesman Sapta Oedang (OSO) sebagai balon anggota DPD karena tidak melampirkan surat pengunduran diri dari partai. Ketua Umum Hanura itu merespons dengan mengajukan gugatan.
OSO memenangkan gugatan di MA dan PTUN. MA dalam putusan 25 Oktober 2018 berpendapat bahwa aturan KPU tersebut tidak bisa diberlakukan terhadap bakal calon anggota DPD pemilu kali ini, karena putusan MK tidak berlaku surut.
Sementara putusan PTUN pada Rabu (14/11) kemarin memerintah KPU mencabut surat ketetapan (SK) calon tetap DPD yang telah diterbitkan. KPU juga diminta mengeluarkan SK baru untuk meloloskan calon anggota DPD dari pengurus parpol yang sebelumnya digugurkan.
"Pertama, ada putusan MK, yang kedua, ada putusan MA. Di mana secara substansial ini berbeda. Yang satu (MK) melarang (pengurus parpol jadi caleg DPD), yang satu (MA) membolehkan. Maka KPU dalam posisi sesulit apapun harus mengambil keputusan. Keputusan dalam rangka menjamin adanya kepastian hukum," paparnya.
(sah/dal)